Mobil hitam itu sudah berhenti tepat di depan rumah namun mesinnya masih dibiarkan tetap menyala, meraung membelah tenang suasana. Galant lalu menoleh ke arah adiknya yang terlelap setelah sepanjang perjalanan tadi sibuk bermain game di ponselnya.
Sejak meninggalkan ruangan Rega, Galant memang belum kembali berucap apa-apa. Karel juga sepertinya sudah menyerah melakukan aksi-aksi konyol untuk menarik perhatiannya. Anak itu hanya diam, menyibukkan diri dengan ponsel tanpa berniat membuka perbincangan. Hingga akhirnya rasa kantuk membawanya jatuh tertidur beberapa menit sebelum mobil itu berhenti membelah jalan.
"Rel," panggil Galant pelan. Karel tidak bereaksi dan Galant tidak berniat mengulang panggilannya lagi.
Dia segera melepas seatbelt kemudian turun dan berjalan memutar, membuka pintu penumpang lalu melepas sabuk pengaman adiknya, dia memindahkan tubuh Karel ke punggungnya dengan hati-hati dan setelah merasa benar-benar nyaman, dia segera bergegas membawa adiknya ke dalam.
Galant membuka pintu yang dia kunci dan langsung membawa Karel ke kamarnya. Dia terpaku lama usai membaringkan tubuh kecil itu ke atas ranjang, mengamati bagaimana wajah yang setiap hari membuatnya naik darah itu hanyut dalam lelapnya pejam. Di benaknya, percakapan Karel dengan Rega satu jam lalu kembali terputar. Galant ingat bagaimana suara Karel bergetar saat menyeret namanya dalam obrolan. Dia juga ingat, bagaimana kalimat yang Karel paparkan begitu sarat akan kekecewaan.
Sekarang dia sadar, diamnya selama ini justru menjadi beban yang selalu Karel pendam sendirian. Diam yang dia pikir benar, ternyata malah menghancurkan.
Galant menghela napas panjang dan memalingkan muka setelahnya. Tiba-tiba dadanya terasa sesak, tapi sebisa mungkin dia berusaha mengusir rasa itu. Ekor matanya melirik jam di sudut kamar lalu mengembalikan pandang pada wajah Karel sekali lagi sebelum akhirnya dia bergegas keluar. Dia berjalan ke dapur, menulis pesan di selembar kertas dan menempelnya di pintu kulkas. Kemudian segera bersiap pergi mengajar. Meninggalkan adiknya sendirian.
🍂🍂🍂
Karel bangun saat matahari sudah tinggi. Langsung bergegas ke kamar mandi, membasuh wajah, lalu beralih ke dapur untuk memuaskan perutnya yang meronta minta diisi. Mata Karel menjelajah, mencari-cari makanan yang bisa dia konsumsi, sampai lembar warna putih yang tertempel di pintu kulkas membuat pandangannya terhenti.
Karel maju, meraih kertas itu dan membaca deret aksara yang tertulis rapi di sana. Tulisan tangan yang sudah ia hafal betul diluar kepala. Tulisan kakaknya.
Delivery aja. Jangan coba-coba masak, lo cuma bakal hancurin dapur gue. Jangan keluar, cuaca lagi nggak bagus. Jangan pesen yang aneh-aneh, inget apa kata Rega!
Tanpa sadar sudut bibir Karel tertarik samar. Pesan singkat dari Galant--yang sebetulnya tidak bisa dibilang singkat karena kakaknya itu menuntut macam-macam--sukses membuat Karel melayang. Yah, seharusnya Karel paham, semarah apapun Galant padanya, lelaki itu tak akan pernah tega mengabaikannya begitu saja. Sebesar apapun rasa kesal Galant terhadapnya, kakaknya itu tak akan sanggup mendiaminya lama-lama. Bolehkah kali ini Karel merasa besar kepala?
"Punya abang satu kok gemesin banget, sih." gumamnya dengan seringai tipis yang detik berikutnya berubah menjadi tawa.
Karel meletakkan kertas itu di meja kemudian menuang air putih ke dalam gelas. Dia baru akan bergegas kembali ke kamar untuk mengambil ponselnya dan memesan makanan, saat tiba-tiba pintu rumahnya terbuka dan nyaring pekikan seseorang menggema dari sana.
"HALO, MY BRADA! SI GANTENG ELANG DATAAANGGG!"
Karel tersentak dan nyaris menyemburkan air di mulutnya. Namun saat rupa familiar itu mendekat ke arahnya, dia justru melebarkan mata selebar-lebarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
KAREL
Ficção AdolescenteBagi Karel, Galant adalah pahlawannya. Malaikatnya. Alasan dia untuk tetap bernapas di dunia. Sedang bagi Galant, Karel adalah hidupnya. Detak jantungnya. Segalanya.