Page 24

9.5K 907 249
                                    

Galant dan Karel sudah siap pulang hari ini. Setelah mengemasi beberapa barang milik masing-masing, pukul sepuluh pagi, mereka siap meninggalkan rumah sakit.

Tante Mia tidak bisa datang karena sedang ada pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan. Tadinya wanita itu sempat memaksa ingin mengirimkan sopir untuk menjemput mereka, tapi Galant menolak secara halus dengan alasan kalau dia tidak ingin merepotkan. Meski ia sendiri juga tahu, sebanyak apapun ia meminta bantuan, wanita itu tidak akan merasa direpotkan. Tapi tetap saja, Galant tidak enak kalau harus terus-terusan mengusik kehidupan tantenya seperti ini. Lagipula dia sudah betul-betul sehat, dia yakin bisa bertanggung jawab membawa pulang Karel seorang diri.

"Udah?" tanya Galant saat melihat Karel selesai dengan kesibukannya. Anak itu hanya mengangguk, kemudian Galant menyerahkan jaket berwarna abu kepada Karel yang langsung diterima tanpa bantahan.

"Pakai taksi, ya? Mobil masih di bengkel." ujar Galant. Lagi-lagi Karel hanya menjawab dengan anggukan. Dia menarik resleting jaketnya ke atas kemudian berjalan mengikuti Galant keluar ruangan. Tapi belum sempat mencapai pintu, seseorang lebih dulu datang dari luar, membuat langkah mereka tertahan.

Rega tersenyum menatap mereka. Senyum yang masih sama setiap harinya. Tulus. Dan semoga selamanya begitu. Tidak seperti kemarin, saat Galant bahkan merasakan keganjilan dengan senyum yang Rega perlihatkan.

"Gue pikir udah pada pulang. Sory, gue baru ada pasien." ucap Rega. Sisa-sisa napasnya yang berantakan bahkan masih bisa terdengar. Galant balas tersenyum pada lelaki itu, seolah mengatakan bahwa dia benar-benar tidak masalah bahkan jika Rega tidak menemui mereka sekalipun. Galant tahu Rega punya banyak pekerjaan, dan sekali lagi, dia tidak ingin merepotkan.

"Lo harusnya nggak ninggalin pasien lo. Sana balik! Nggak tanggung jawab banget jadi dokter." ujar Galant, tentu dengan diakhiri tawa kecil di penghujung kalimatnya.

"Karel juga pasien gue." jawab Rega santai. Arah pandang lelaki itu kini tertuju pada sosok yang namanya baru saja ia sebut. Dia tersenyum lembut, tepat saat matanya beradu dengan sepasang iris legam milik Karel.

"Minum obatnya sesuai jadwal, jangan lewatin satupun. Pokoknya jaga kondisi bener-bener, supaya bulan depan bisa ketemu gue di ruang operasi. Oke?"

"Iya." Karel menjawab singkat.

"Kalau disuruh istirahat, nurut. Jangan keseringan ngelawan abang lo."

"Iya." Kali ini Karel menjawab dengan sedikit malas, membuat Rega gemas. Dia menepuk pundak anak itu pelan lalu mengacak rambutnya yang tentu saja langsung mendapat tepisan dari Karel.

Rega terkekeh melihat reaksi yang Karel berikan, tapi kemudian dia segera berpaling pada Galant. Lelaki itu menatapnya dengan senyuman, sejenak membuat perasaan Rega berdesir tak nyaman. Mata itu terlihat begitu mempercayainya. Rega bahkan bisa melihat harapan besar yang Galant letakkan setiap kali beradu pandang dengannya. Rega senang, tentu saja. Namun di satu sisi, entah mengapa dia jadi merasa berdosa. Harapan yang terpancar di mata Galant itu tampak seperti kaca, dan Rega takut akan memecahkannya.

Tapi dia juga sudah berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia akan menyelesaikan semuanya. Dia sudah terlanjur berjalan, tidak mungkin dia berhenti di sini sekarang.

Rega mengerjap samar, berusaha menepis pikirannya. Kemudian dia maju dan meninju pelan lengan Galant, mencoba untuk mendapatkan kembali ketenangannya yang sempat hilang.

KARELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang