"Kita pulang sekarang."
Hanya itu yang Galant katakan sebelum mereka kembali diam dengan hening sebagai teman. Jaket hitam milik Galant mendekap tubuh Karel, menghangatkannya di tengah terjangan gerimis yang seolah ingin membekukan semua. Aspal basah dan air yang menggenang terlihat dimana-mana, sementara di sepanjang jalan, pijar lampu menjadi latar sempurna.
Karel selalu suka suasana seperti ini. Saat hujan turun, riuh tetesnya seperti melodi yang mampu mengisi ruang kosong dalam hati. Sederhana, tapi entah bagaimana bisa membuatnya merasa tidak sendiri. Saat riuhnya berhenti, damai yang ia rasa itu pun seperti kembali menjadi sepi.
Karel menghela napas panjang saat dirasanya suasana di antara mereka mulai tak nyaman. Dia lalu menoleh menatap Galant yang masih meletakkan konsentrasi penuh pada jalanan di depan. Beberapa detik, sampai lelaki itu akhirnya menyadari tatapan Karel yang tertuju padanya.
"Kenapa?" tanya Galant. Dia berusaha membagi fokusnya antara menyetir dan mendapat kontak mata langsung dengan Karel. Dia tahu ada sesuatu yang ingin anak itu sampaikan. Karenanya Galant sengaja mempertajam pendengaran, bersiap menampung apapun yang mungkin akan ia dengar.
Namun, Galant sepertinya lupa kalau Karel adalah manusia paling laknat yang pernah ada. Apapun yang Galant perkirakan tidak pernah sejalan dengan kalimat yang keluar dari mulutnya. Bukannya mendengar pertanyaan atau kalimat serius dari adiknya seperti yang sebelumnya Galant pikirkan, yang terlontar dari bibir kecil itu justru keluhan singkat yang langsung membuat fokus Galant buyar begitu saja.
"Laper."
Galant mendengkus, tapi tidak berniat melontar bantahan. "Gue kira apaan." Lalu dia mengedarkan pandang, memerhatikan bangunan yang berjajar di pinggir jalan. Kalau tidak salah, kurang dari dua ratus meter lagi, ada rumah makan sederhana yang menjual aneka makanan dari berbagai kota.
"Tadi siang makan pake apa?"
"Boro-boro makan, seharian gue cuma jadi babunya orang."
Mendengar itu alis Galant berkerut dalam, tatapannya tajam, menuntut penjelasan. "Babu?"
Karel berdecih, tatapannya ia lempar keluar jendela, membiarkan air hujan di luar sana menyambutnya. "Gue mau bilang kalau anak itu nyiksa gue seharian, tapi gue ragu lo bakal percaya."
Ada getir yang mati-matian Karel redam saat kalimat itu terucap. Karenanya dia memilih diam, tak lagi berniat melanjutkan obrolan. Dia dan Galant baru saja berbaikan, dia takut kalau membawa nama Danish lebih jauh dalam obrolan justru akan kembali menyeret mereka ke dalam perselisihan. Lagipula, Karel benar-benar tidak ingin membicarakan apapun lagi tentang anak itu. Tidak tahu kenapa, setiap kali namanya disebut, Karel merasa kalau anak itu akan membawa pengaruh buruk untuk dirinya dan Galant. Karel takut Danish akan mengambil satu-satunya orang yang ia jadikan alasan untuk bertahan.
Katakanlah ini hanya ketakutan Karel yang tak berdasar, tapi dia bersumpah, melihat mata Danish yang berbinar setiap melihat Galant benar-benar membuatnya gusar. Danish itu seperti ancaman yang bisa kapan saja menghancurkannya menjadi kepingan. Jadi, Karel merasa perlu waspada mulai sekarang.
Sementara Galant diam-diam mengeratkan genggamannya pada stir mobil. Perasaan bersalah itu kembali datang, sekali lagi menyadarkannya kalau ia telah melakukan kesalahan besar.
"Sory, Rel. Gue nggak tau kalau Danish bakal bikin lo kesusahan."
Karel menggigit bibir dalamnya kuat tanpa melepas pandangan dari lampu yang berjajar di jalan. Mengingat Galant yang membentaknya hanya karena Danish benar-benar membuat hatinya sakit.
"Sekarang cuma ada gue sama lo, harusnya lo nggak usah bawa-bawa nama itu lagi."
"Lo nggak suka banget ya sama Danish?"
KAMU SEDANG MEMBACA
KAREL
Teen FictionBagi Karel, Galant adalah pahlawannya. Malaikatnya. Alasan dia untuk tetap bernapas di dunia. Sedang bagi Galant, Karel adalah hidupnya. Detak jantungnya. Segalanya.