Menjelang sore, di bawah mega kelabu yang berarak pilu, Rega, berdiri seorang diri di tempat itu. Di hadapannya, sebuah gundukan tanah yang masih basah menjadi arah matanya tertuju. Sebuket bunga segar yang baru saja ia letakkan di atas tanah itu bergoyang tertiup angin, menebarkan aroma yang kembali menghantar Rega pada luka itu. Luka akan kehilangan. Luka akan sebuah perpisahan.
Dia menarik napas dalam, mencoba menggali lagi kenangan yang masih tinggal dalam ingatan. Tentang sosok itu, juga hari-hari penuh warna yang pernah mereka lalui bersama, dulu. Mereka pernah bahagia dan tertawa bersama. Rega ingat. Walau sesaat, dia sama sekali tidak akan pernah melupakan bagaimana sosok itu memberi warna pada hidupnya. Walau tak banyak, Rega tetap akan selalu ingat.
Namun, sekarang, sosok itu pergi. Menyisakan sayatan yang akan abadi dalam hati Rega. Tidak akan terobati. Kecewa dan duka menjadi satu, melebur bersama amarah yang membara dalam diri Rega untuk sosok itu. Rega terluka, tapi rasa kecewanya untuk temannya itu jauh lebih besar.
Detik jarum jam terus berputar, mega kelabu di atas sana pun kian menghitam. Namun Rega masih diam di posisinya, bertahan walau menyakitkan. Angin berembus perlahan, menyapu dedaunan kering yang jatuh di atas makam. Rega berharap, rasa kehilangan yang menikamnya juga akan ikut pergi, sehingga ia tidak perlu merasa terluka lagi. Harinya pasti akan terasa lebih ringan jika dia melupakan sosok itu.
Tapi ... tidak bisa. Bagaimanapun, mereka pernah berteman. Mereka pernah saling berbagi tawa dan melangkah beriringan. Sebanyak apapun dia membuat Rega kecewa, tetap saja kenangan itu akan tinggal dalam ingatan.
Rega lantas memejam, sambil merapalkan harapan agar sosok itu mendapat tempat setimpal di kehidupannya sekarang. Juga di kehidupan selanjutnya. Setelah itu Rega berbalik dan mulai melangkah pergi setelah menatap makam itu sekali lagi. Dia harus kembali ke rumah sakit. Pekerjaannya menunggu di sana, dia tidak boleh pergi terlalu lama.
Langkahnya terasa lebih ringan saat ia keluar dari area pemakaman menuju mobilnya yang terparkir di pinggir jalan. Ia sudah sepenuhnya melepas sosok itu. Sekarang, rasanya seperti tidak ada lagi beban yang mengganjal. Hidupnya akan terus berlanjut dan tidak ada lagi yang perlu ia khawatirkan ke depan.
Rega mempercepat langkahya menuju mobil, kemudian segera masuk ke dalam karena langit semakin gelap. Suasana hening menyambutnya begitu ia duduk, beberapa detik, sampai suara helaan napasnya terdengar lalu ia menoleh ke samping. Tepat ke arah seorang lelaki yang sejak tadi duduk tenang di tempatnya, mengamati gelap yang berangsur pekat di luar sana.
"Lo yakin nggak mau turun?" tanya Rega. Lelaki itu menoleh, kemudian menggeleng. Rega hanya menghela napasnya. Ia tahu, lelaki itu pasti masih kecewa. Tidak mudah membuatnya melupakan semua yang terjadi dalam hidupnya. Luka itu terlalu dalam, tidak mungkin dapat sembuh begitu saja.
"Tiap inget namanya, rasanya gue masih nggak rela dia mati gitu aja." ucap lelaki itu.
Rega berusaha mengerti. Jadi, detik selanjutnya dia hanya tersenyum, sembari menepuk pundak lelaki itu beberapa kali. Mencoba memberi lelaki itu kekuatan, sama seperti yang dulu selalu ia lakukan.
"It's oke. Semua udah berlalu. Kita semua baik-baik aja sekarang, Gal."
Galant kembali menoleh, matanya beradu dengan milik Rega. Ada tulus yang terpancar di dalam sana, sesuatu yang tidak pernah bisa Galant bantah bahkan dari awal mereka berjumpa. Rega itu tulus, dan dia telah membuktikannya.
Walau baru-baru ini Galant mengetahui satu fakta besar yang tidak pernah ia tahu sebelumnya, tetap saja tidak mengurangi rasa percayanya pada sosok Rega. Rega telah memaparkan segalanya, tentang bagaimana ia mengenal seorang Juandra, bagaimana mereka bisa berteman, serta bagaimana Rega secara diam-diam menerima informasi tentang Juan dari seseorang bernama Alex. Rega juga sudah menjelaskan alasan mengapa ia tidak bicara pada Galant dari awal, dan Galant bisa memahami niat baiknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
KAREL
Teen FictionBagi Karel, Galant adalah pahlawannya. Malaikatnya. Alasan dia untuk tetap bernapas di dunia. Sedang bagi Galant, Karel adalah hidupnya. Detak jantungnya. Segalanya.