Page 14

10.5K 1K 253
                                    

Galant masih membeku di depan ruang itu bahkan setelah adiknya lama berlalu. Sekarang dia justru duduk di kursi tunggu, merenungi segalanya, meresapi setiap kata yang telah ia ucapkan pada Karel hingga anak itu memilih pergi begitu saja. Galant sadar, dirinya mungkin telah keterlaluan, amarahnya membuat ia bertindak diluar nalar. Karel mungkin terluka tapi Galant bahkan tidak memberinya kesempatan untuk menjelaskan semua.

Sekarang lelaki itu hanya bisa menyesali segalanya. Di tempat itu, berteman sepi yang merayap hingga ke jiwa. Tidak ada yang bisa ia lakukan selain menunggu waktu sampai emosi masing-masing dari mereka mereda. Karena ia tahu mengejar Karel sekarang pun percuma. Kalau sedang merajuk anak itu tidak akan bisa dipaksa. Jadi, yang bisa Galant lakukan sekarang hanya menunggu, setidaknya sampai suasana hati adiknya cukup baik untuk diajak bicara berdua.

Suara pijakan hak sepatu yang beradu dengan lantai memecah pikiran Galant. Buru-buru lelaki itu mengangkat wajah, hingga figur seorang wanita tertangkap jelas oleh penglihatannya. Tante Mia, berjalan tergesa dari kejauhan, membelah lorong sepi dengan derap langkahnya yang tak beraturan. Galant bangkit, menyambut kedatangan Tante Mia dengan sedikit senyuman.

"Gal, Danish gimana?" tanyanya begitu tiba di hadapan Galant. Matanya melirik sekilas ruangan di ujung lorong, kemudian kembali mengunci Galant, menuntut penjelasan.

"Dokter bilang udah nggak apa-apa, tante. Cuma perlu banyak istirahat aja."

Galant bisa mendengar helaan napas lega dari bibir tipis wanita itu. Samar, Galant juga bisa menangkap gumaman Tante Mia tentang betapa bersyukurnya ia karena putra kesayangannya itu tidak apa-apa.

"Syukurlah. Tante udah panik banget pas kamu kabarin tadi. Tante sampai lupa sama kerjaan, pokoknya semua tante tinggalin cuma biar bisa cepet ke sini." Wanita itu menghela napas sebentar sebelum kembali melanjutkan, "terus dokter bilang apa lagi?"

"Katanya keracunan, tan."

"Keracunan? Kok bisa?"

Galant membuang napasnya kasar, merasa sedikit bimbang untuk menjelaskan pada Tante Mia. Dia jadi tidak enak, takut wanita itu akan marah.

"Aku, mewakili Karel juga, minta maaf banget sama tante atas kejadian ini. Karel sendiri bener-bener nggak tau kalau semuanya bakal jadi kayak gini. Tolong, maafin dia, tan. Dia juga nggak tau apa-apa."

Galant sedikit terhenyak saat mendapati reaksi tante Mia. Bukannya memberinya tatapan kecewa atau meluapkan amarahnya seperti yang dari tadi Galant duga, wanita itu justru tersenyum hangat sambil menyentuh lengan Galant lembut.

"Tante tau. Tante nggak nyalahin siapa-siapa kok. Ini semua kecelakaan, bukan kesalahan kalian."

Detik itu, ketegangan yang sempat menjebak Galant pun seolah melebur begitu saja. Tatapan hangat tante Mia bahkan mengurungnya, membuat jantung Galant kembali mendapatkan ritme normalnya. Wanita itu memang selalu punya pemikiran yang lebih luas dari kebanyakan wanita lainnya, bijaksana, dan selalu mendahulukan nurani daripada logika. Wajar kalau dibandingkan orang tuanya sendiri yang selalu sibuk dengan kehidupan masing-masing di luar sana, Galant jauh lebih menghormati tante Mia daripada mereka.

Sudut bibir Galant terangkat membalas senyum wanita itu. Setelahnya, barulah dia menyadari sesuatu. Dia harus segera pergi, ada sesuatu yang lebih penting yang harus ia selesaikan. Ada masalah kecil yang harus segera ia luruskan.

KARELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang