Galant langsung merebahkan dirinya di sofa begitu ia memijak lantai rumah. Dia mengembuskan napas panjang sembari memejamkan mata sebentar. Namun, saat bayang wajah Juan yang ia temui beberapa saat lalu kembali muncul dalam ingatan, dengan cepat dia membuka kelopak matanya yang baru beberapa detik terpejam.
"Adik saya udah lama meninggal. Bunuh diri. Karena seseorang."
Sejenak dia membeku. Sama seperti beberapa saat lalu, saat ia duduk di hadapan Juan dan mendengar langsung bagaimana lelaki itu berujar, Galant merasa tubuhnya menegang. Dia lalu mengerjap, berusaha mengenyahkan dengung suara itu dari benaknya. Perkataan Juan yang satu itu entah mengapa terus mengusiknya, membuatnya tak tenang, padahal Galant tidak tahu apa-apa. Kalimat itu tidak ditujukan kepadanya, tapi Galant seperti ikut merasakan sesaknya.
Aneh. Galant tidak pernah merasa seperti ini sebelumnya.
Sekali lagi dia membuang napas kasar, sebelum akhirnya memutuskan untuk tidak peduli. Dia berusaha mengalihkan pikiran, keningnya mengernyit saat menyadari adiknya sama sekali belum kelihatan sejak ia datang. Galant menoleh ke arah kamar Karel, pintunya tertutup rapat, membuat Galant tertuntun untuk bangkit dan berjalan mendekat.
"Rel?" panggilnya sembari mendorong pintu perlahan. Hening menyambutnya tepat setelah pintu terbuka. Pekat mata Galant segera menjelajah, tapi dia sama sekali tidak menemukan keberadaan anak itu di sana.
Kerutan di kening Galant mulai bermunculan. Lalu dia melangkah menuju kamar mandi dan mengetuk pintunya pelan.
"Lo di dalem?"
Tidak ada balasan. Galant mencoba memanggil satu kali lagi. "Rel?"
Masih sama. Panggilan Galant seolah hanya melebur di udara tanpa balasan apa-apa. Kerutan di keningnya semakin dalam, sejenak dia diam, berusaha menangkap suara dari dalam kamar mandi di hadapannya. Tapi bahkan setelah beberapa detik berlalu, Galant tetap tidak mendengar apa-apa dari dalam sana. Tidak ingin membuang waktu lebih lama, Galant segera mendorong pintu kamar mandi hingga terbuka sempurna. Pandangannya menyebar, namun sekali lagi, ruang itu hampa. Karel tidak ada di sana.
Perasaan Galant mulai tak tenang. Dengan cepat dia bergegas keluar sambil mencoba menghubungi ponsel anak itu. Nada sambung telepon terdengar seperti jeda panjang yang menyiksa Galant, membuatnya geram. Sekarang, dia bahkan sudah kembali berada di luar rumah dengan kunci mobil dalam genggaman. Namun panggilannya belum juga mendapat jawaban.
Galant mencoba memanggil nomor itu sekali lagi, menunggu dengan perasaan gelisah karena nada sambung telepon masih belum berganti. Cukup lama dan Galant sudah hampir mematikan panggilan saking kesalnya, tapi kemudian suara dari seberang sana menahan niatnya.
"Gal.."
Galant tersentak begitu telinganya menangkap suara Karel yang sedikit bergetar. Ditambah lagi anak itu sama sekali tidak melanjutkan kalimatnya setelah memanggil namanya barusan.
"Lo dimana?"
Tidak ada balasan lagi yang Galant dengar. Anak itu bungkam, namun Galant bisa mendengar suara helaan napasnya yang begitu berat dan menyakitkan. Seketika panik menyerang dan Galant tidak bisa lagi menahan dirinya untuk tetap tenang.
"Lo nggak apa-apa, Rel? Lo dimana, anjir?
"Gal.. darah.."
Detik itu, jantung Galant seperti mau lepas dari tempatnya. Otaknya terasa penuh dan dia tidak bisa memikirkan apa-apa selain adiknya.
"Lo denger gue, kan? Sekarang bilang, lo dimana?"
🍂🍂🍂
Dingin ruang itu sudah sangat familiar bagi Galant hingga dia tetap bisa duduk tenang walau perasaan tak nyaman terus mengusiknya. Rahangnya terkatup rapat, sementata mata gelapnya terus tertuju pada titik yang sama. Dia sama sekali tidak bisa melepaskan pandangan dari wajah Karel yang tampak begitu sayu di hadapannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
KAREL
Teen FictionBagi Karel, Galant adalah pahlawannya. Malaikatnya. Alasan dia untuk tetap bernapas di dunia. Sedang bagi Galant, Karel adalah hidupnya. Detak jantungnya. Segalanya.