Agnes keguguran. Itu yang Galant katakan saat malam harinya lelaki itu pulang untuk berganti pakaian. Kabar yang cukup membuat hati Karel terguncang dan seketika, perasaan bersalah itu datang. Kecewa dan marah menusuk relungnya, membuatnya teringat akan kelalaian yang tak sengaja ia lakukan.
Seandainya dia membawa ponselnya saat mengikuti kegiatan tambahan, atau setidaknya mengabari Galant lebih awal, semua mungkin tidak akan berakhir seperti sekarang. Seandainya tadi dia bisa pulang lebih cepat, mungkin saat ini, mereka masih bisa tertawa bersama. Duduk di depan televisi sambil mengobrolkan topik-topik sederhana. Binar hangat di sepasang mata kelam Galant pasti masih ada dan yang lebih penting, janin di dalam kandungan Agnes masih akan terus menemani mereka. Kalau saja Karel tidak lalai meninggalkan ponselnya begitu saja, Galant tidak akan kehilangan calon bayinya.
Dan tentu saja, lelaki itu tidak akan menjadi sekacau yang Karel lihat sekarang.
Sejak pulang dari rumah sakit, Galant benar-benar tidak banyak bersuara. Hanya memberi jawaban singkat ketika Karel menanyakan keadaan Agnes. Setelahnya, lelaki itu memilih menghabiskan waktu di dalam kamar. Tanpa ingin diganggu, tanpa ingin diusik siapapun. Dia bahkan seperti tidak memberi Karel kesempatan untuk menjelaskan. Atau setidaknya menyampaikan permintaan maafnya kalau memang hal itu diperlukan.
Galant benar-benar menutup dirinya rapat-rapat malam itu. Menjaga jarak dari Karel dan mungkin juga semua yang mencoba mengajaknya bicara. Karel tahu, kakaknya sedang tidak ingin diganggu siapa-siapa. Jiwanya sedang terguncang hebat, dan Karel memutuskan untuk memberi waktu beberapa saat.
Mungkin juga, lelaki itu sedang tidak ingin bertemu dengannya. Jadi, Karel cukup tahu diri untuk tidak memaksa Galant bicara. Sampai akhirnya, pukul sembilan malam, pintu kamar lelaki itu terbuka, Galant keluar untuk kembali ke rumah sakit. Dan dia masih tidak banyak bersuara.
"Gal, gue boleh ikut?"
Saat itu Galant berbalik, menatap Karel yang sudah berdiri beberapa langkah di belakangnya. Mata keduanya beradu dan Karel bisa menemukan kesedihan yang begitu besar di dalam sana. Sesuatu yang tanpa sadar ikut menyakiti perasaan Karel.
Dari tempatnya, Galant menarik napas dalam, sebelum akhirnya berujar pelan. "Nggak usah, di rumah aja. Tidur. Besok sekolah."
Galant sudah hampir melanjutkan langkah, saat suara Karel kembali terdengar, membuat gerakannya tertahan.
"Lo marah sama gue, Gal?"
Galant memilih diam dan membiarkan Karel melanjutkan apa yang ingin dia sampaikan padanya malam itu.
"Maaf. Gue tadi lupa ngabarin lo kalau gue nggak bisa pulang cepet. Hp gue juga ketinggalan di kelas, gue nggak tau kalau lo nelfonin gue sampe sebelas kali. Sory, Gal.."
Napas Galant rasanya begitu berat dan sesak. Dia memang sempat hilang akal saat Karel tidak menjawab panggilannya siang tadi, terlebih saat ia tiba di rumah dan melihat Agnes jatuh terduduk di lantai kamar mandi dengan darah yang mengaliri kedua kakinya. Puncaknya, adalah ketika dokter menyatakan janin dalam kandungan Agnes tidak bisa diselamatkan. Galant hancur. Amarahnya sempat tergugah untuk menyalahkan Karel atas kelalaian yang anak itu lakukan, tapi kemudian dia seolah disadarkan, bahwa tidak semua kesalahan berada di tangan anak itu.
Dibandingkan semua orang, Galant jelas lebih mengenal adiknya. Dia tahu Karel tidak mungkin sengaja mengabaikan pesan-pesannya. Lebih dari itu, Karel juga pasti tidak menginginkan hal buruk apapun menimpa Agnes, atau keluarga mereka.
Jadi, setelah merenung panjang di lorong rumah sakit yang dingin dan sepi, pada akhirnya Galant memutuskan untuk menekan kuat-kuat amarah yang sempat menyulutnya. Mencoba lebih ikhlas menerima takdir yang digariskan oleh Tuhan untuknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
KAREL
Teen FictionBagi Karel, Galant adalah pahlawannya. Malaikatnya. Alasan dia untuk tetap bernapas di dunia. Sedang bagi Galant, Karel adalah hidupnya. Detak jantungnya. Segalanya.