Harus diakui, kehidupan Karel sedikit berubah sejak Galant menikah. Memang tak banyak, tapi Karel merasakannya dengan jelas. Misalnya saja, waktu luang bersama kakaknya yang menjadi lebih terbatas. Juga dirinya yang kini kemana-mana menjadi lebih bebas. Mungkin juga karena usinya sudah menapaki enambelas, jadi Galant tidak lagi terlalu membatasi ruang gerak anak itu seperti dulu saat ia masih bocah.
Dia bahkan sekarang bisa pergi dan pulang sekolah seorang diri, tanpa harus diantar jemput seperti dulu. Galant juga tidak lagi mengekangnya mengikuti kegiatan apapun di sekolah asal masih dalam batas wajar dan sesuai dengan kemampuannya.
Seperti hari ini, dia baru kembali ke rumah dengan pakaian yang sudah acak-acakan saat jam menunjukkan pukul empat sore. Ruang tamu yang ukurannya tak seberapa luas itu tampak sepi, Karel tebak, kakaknya pasti belum pulang. Entah, akhir-akhir ini, lelaki itu sering sekali pulang terlambat. Kata Agnes, Galant sedang sibuk-sibuknya mengurus persiapan pekan olahraga sekolah. Dia ditunjuk menjadi ketua penyelenggara yang bertanggung jawab mengurus segalanya. Jadi, setiap kali Karel bertanya, Agnes hanya bilang; kakakmu lagi ada tugas negara, maklumi aja.
Selalu begitu sampai Karel hafal sekali bagaimana cara wanita itu mengatakannya.
Karel berhenti melangkah saat telinganya menangkap suara gaduh dari arah dapur. Dia tahu, Agnes sedang berkutat di sana, kebiasaan wanita itu menjelang sore hari seperti ini. Karel memilih untuk memutar langkahnya menuju tempat wanita itu berada. Dia meletakkan tasnya di meja dapur, membuat Agnes refleks menoleh. Sedikit tersentak saat tahu-tahu mendapati anak itu di sana.
"Baru pulang? Ada ekstra lagi apa gimana?" tanya Agnes setelah sebelumnya sempat melempar senyum.
Karel yang sudah duduk di balik meja lantas mendesah panjang, sembari menuang air putih ke dalam gelas dari teko di atas meja.
"Main basket dulu sama temen-temen." jawab Karel, dia lalu meneguk airnya. Sementara Agnes kembali sibuk dengan pekerjaannya. Wanita itu mengecilkan api kompor, kemudian beralih pada mesin oven dan mengeluarkan sesuatu dari sana.
"Di sekolah tadi udah makan belum?"
"Udah."
"Nggak jajan yang aneh-aneh, kan?"
"Mi ayam doang. Pake sambelnya tiga sendok."
Agnes refleks menoleh dan membulatkan matanya, bibirnya sudah terbuka, hendak memberi ceramah panjang pada anak itu, tapi Karel menyelanya lebih dahulu.
"Nggak, bercanda." ujar Karel dengan tawa kecil yang mengikutinya. Agnes berdecak. Anak itu memang suka sekali mengerjainya. Benar kata Galant, Karel itu punya potensi besar untuk membuat orang lain geram. Lebih parahnya lagi, jantungan.
"Awas aja sampai macem-macem di sekolah. Kakak bilangin Galant biar uang jajannya dipotong."
Ah, benar. Galant. Lelaki itu benar-benar belum pulang, ya?
"Galant belum pulang?"
"Belum. Tadi nge-chat, bilang masih harus revisi proposal. Paling bentar lagi."
Karel hanya mengangguk-anggukan kepalanya, meminum kembali air putihnya yang masih tersisa, sampai perhatiannya teralih saat Agnes meletakkan satu piring kue yang sudah dipotong rapi ke hadapannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
KAREL
Teen FictionBagi Karel, Galant adalah pahlawannya. Malaikatnya. Alasan dia untuk tetap bernapas di dunia. Sedang bagi Galant, Karel adalah hidupnya. Detak jantungnya. Segalanya.