Karel itu terkadang memang kekanakan. Kelakuannya sering sekali membuat orang lain kesal, tapi dibalik semua itu, dia sebetulnya sosok yang tangguh. Dia tidak pernah mengeluh bahkan saat tubuhnya kelewat lelah. Karel itu manja, tapi tak pernah ingin orang lain mengetahui sakit yang dirasakan tubuhnya. Dia hanya diam, memendam semua kesakitannya sendirian. Karena dia sudah bertekad untuk berjuang, demi kakaknya.
Karel tahu belakangan Galant tertekan, oleh pekerjaan ... juga kondisinya yang memang butuh banyak perhatian. Karel juga tahu kakaknya sedang dirundung banyak pikiran hingga berujung pada pola makan yang berantakan. Karel terlalu mengenal kakaknya, dia tahu kakaknya sedang kesulitan walau lelaki itu tak pernah bilang.
Kadang, Karel iba pada Galant yang harus menanggung beban sendirian, yah.. meski Papa masih cukup sadar untuk memasok uang setiap bulan, tetap saja Galant harus bekerja demi menyambung biaya kebutuhan mereka yang terkadang lebih besar dari jumlah pemasukan bulanan. Dan Karel benci saat dirinya hanya bisa melihat sang kakak banting tulang tanpa bisa meringankan.
Karel sadar dirinya cukup merepotkan, makanya dia memilih diam. Jika memang tak bisa meringankan, setidaknya dia tak ingin menambah beban. Sederhana. Dia hanya perlu terlihat baik-baik saja agar Galant pun tidak terlalu memikirkannya.
Seperti sore ini, saat Karel membanting diri ke sofa sepulang menjalani treatment yang cukup berat selama hampir enam jam. Tubuhnya lelah. Semakin hari rangkaian treatment yang harus dia jalani pun bertambah. Namun Karel tak ingin membantah, hanya menurut ketika sang kakak bertitah. Karena meski tak pernah berkeluh kesah, Karel tahu Galant juga pasti sangat lelah.
"Mandi dulu!" Suara Galant terdengar seiring gema langkahnya melewati sofa tempat Karel merebah, membuat cowok itu segera memalingkan wajah.
"Ntar ah. Tidur dulu, ngantuk."
"Mandi dulu, makan, habis itu baru tidur."
"Dibalik aja, sih. Tidur dulu, makan, habis itu mandi."
Galant mendengkus keras dan menghentikan langkah tepat sebelum mencapai pintu kamar. Tubuhnya dia putar menghadap sang adik yang berbaring telentang dengan mata terpejam. Dia tidak pernah suka setiap kali Karel mulai membantahnya seperti ini.
"Rel," panggilnya pelan.
Karel membuka mata, memandang kakaknya sekilas, sampai dia bisa menangkap rona berbeda dari wajah lelaki itu. Perlahan, Karel beranjak duduk tanpa mengalihkan pandang dari kakaknya. Wajah itu terlihat lelah, sesaat membuat rasa bersalah dalam diri Karel kembali membuncah. Galant telah membuang banyak sekali waktu hanya demi dirinya, merelakan jam kerja juga waktu istirahatnya habis sia-sia hanya demi menemaninya menjalani pengobatan. Karel seharusnya paham kalau Galant sedang tidak ingin dibantah sekarang. Seharusnya dia menurut saja apa yang lelaki itu katakan, bukan malah membantah dan menjadi kurang ajar.
"Lo capek, ya?" tanya Karel. Hanya untuk memastikan, karena tanpa bertanya pun sebetulnya dia sudah bisa menyimpulkan. Setidaknya sekali, Karel ingin mendengar langsung kakaknya mengeluhkan apa yang sebetulnya dia rasa.
"Iya. Makanya lo nurut sama gue, jangan bikin gue bete gara-gara lo jadi adek pembangkang."
Karel termenung sebentar, merasakan gejolak yang semakin besar. Kalimat Galant sudah cukup untuk membuktikan bahwa dirinya memang merepotkan. Meski ia tahu kalimat itu tak luput dari gurauan, tetap saja batinnya terluka. Mendadak dia jadi merasa tidak berguna.
"Lain kali lo nggak usah nemenin treatment deh, biar gue sendiri aja. Gue di treatment-nya lama, pasti capek banget kalo nungguin."
"Yakin? Berani sendirian? Nanti kalau lo dianestesi sama dibius total udah nggak takut lagi?"
KAMU SEDANG MEMBACA
KAREL
Teen FictionBagi Karel, Galant adalah pahlawannya. Malaikatnya. Alasan dia untuk tetap bernapas di dunia. Sedang bagi Galant, Karel adalah hidupnya. Detak jantungnya. Segalanya.