Galant memilih menyingkir dari keramaian di saat semua orang sibuk dengan kegiatan masing-masing. Lelaki itu menyelinap ke ruang penyimpanan properti olahraga di lantai dua, kemudian menarik kursi tak terpakai dan duduk di sana. Dia melirik jam tangannya sekilas, sebelum akhirnya memutuskan untuk mengeluarkan ponselnya dan langsung menekan panggilan cepat nomor dua dari sana. Menunggu beberapa saat, sampai nada sambung panggilan berubah menjadi suara hangat seseorang.
"Kenapa, Gal?"
Sejenak Galant menghela napas, berusaha menenangkan dirinya sebelum membalas sapaan Rega.
"Sibuk nggak?"
"Lagi liat-liat rekam medis pasien aja. Jadwal visit gue setengah jam lagi. Masih ada 30 menit buat dengerin lo ngomong. Kenapa?"
Galant terkekeh mendengar jawaban Rega. Sepertinya pertemuan tak sengaja mereka di sebuah ajang olahraga sewaktu SMP dulu--yang akhirnya berlanjut ke hubungan pertemanan yang lebih dekat sampai sekarang--membuat Galant cukup paham pada watak sang kawan. Lelaki itu menyenangkan tapi juga serius di saat bersamaan. Rega, yang sejatinya merupakan senior dua tingkat di atas Galant semasa sekolah dulu memang selalu bisa menunjukkan kedewasaannya di setiap keadaan. Rega itu bukan tipe teman yang bisa diajak melakukan segala hal, tapi dalam segala hal, dia selalu bisa diandalkan.
Rega itu terlalu mengenal dirinya, seluk beluk keluarganya, segalanya. Tidak ada satu hal pun tentang Galant yang tidak Rega tahu. Dia bahkan mengenal Galant jauh lebih baik daripada keluarganya sendiri, memerhatikannya lebih daripada orang tuanya sendiri. Dibandingkan mama dan papa yang sekarang entah bagaimana kabarnya, Rega jelas lebih segala-galanya. Bahkan boleh dibilang, lelaki itu juga yang ikut membesarkan Karel bersamanya.
Galant kembali menarik napas panjang dan memejam, sebelah tangannya bergerak memijit pangkal hidungnya perlahan.
"Gue kemaren terima SMS misterius. Nggak tau dari siapa, nggak tau maksudnya apaan, tapi dari kata-kata yang dia tulis, gue ngerasa dia ngancem gue, Ga."
"Bentar bentar. SMS misterius? Maksud lo.. teror?" Nada bicara Rega berubah serius di seberang sana. Galant bahkan bisa membayangkan Rega yang menegakkan badan sambil membetulkan posisi kacamatanya, kebiasaan lelaki itu setiap kali sedang serius bicara.
"Menurut lo masuk akal nggak kalau itu cuma kerjaan orang iseng aja?"
"Bisa iya, tapi bisa juga enggak."
Kali ini kening Galant mengernyit dalam. "Maksud lo, ada yang sengaja neror gue?"
"Orang itu bilang apa?"
"Semua punya harga. Berani ambil berani bayar. Permainan dimulai. Maksudnya apaan coba?"
Rega terdiam cukup lama, entah sedang berusaha menerka atau apa, Galant tidak tahu. Sampai dia akhirnya bisa mendengar desah napas berat dari lelaki itu.
"Itu ancaman, Gal. Kenapa lo baru ngasih tau gue sekarang?"
"Tadinya gue pikir cuma SMS nyasar doang, nggak penting. Tapi tadi pagi pas gue bangun, gue kepikiran lagi, gue coba baca lagi, dan abis itu gue ngerasa ada yang nggak beres."
"Lo udah coba hubungin nomernya?"
"Nggak aktif."
"Nggak salah lagi. Itu teror."
"Tapi siapa coba? Terus tujuannya apa? Gue ngerasa udah nggak punya masalah sama siapa-siapa, Ga. Selama ini hidup gue juga anteng-anteng aja. Kenapa tiba-tiba sekarang muncul ginian?"
"Masalah lo sama Lucas udah beres, kan?"
"Udah dari lama, Ga. Lo juga tau kalau dia cuma salah paham doang, dia juga yang waktu itu minta maaf duluan. Habis dia pindah ke Singapore, kita udah nggak pernah hubungan lagi."
KAMU SEDANG MEMBACA
KAREL
Teen FictionBagi Karel, Galant adalah pahlawannya. Malaikatnya. Alasan dia untuk tetap bernapas di dunia. Sedang bagi Galant, Karel adalah hidupnya. Detak jantungnya. Segalanya.