Suasana di dalam mobil itu tenang dengan alunan musik bertempo pelan. Tidak ada obrolan yang bertahan lama karena dua orang di sana memang enggan berlarut-larut membahasnya. Secepat itu topik berganti, semudah itu pula tawa mereka pergi. Kini, hanya hening yang tersisa setelah lima menit lalu Galant menyudahi kalimatnya. Membiarkan Karel ikut melakukan hal yang sama. Diam, sambil mengunci pandangannya pada buku laporan hasil belajar di pangkuan.
Cowok itu menunduk karena tidak tahu harus mengatakan apa lagi setelah kebisuan mengurung mereka. Ia menggigiti bibir bawah sambil memilah kata yang tepat untuk menyuarakan isi hatinya. Karena hanya itu cara satu-satunya agar ia bisa merasa lega.
"Sory, Gal." katanya dengan suara pelan yang nyaris tidak bisa Galant dengar. Beruntung, pendengaran lelaki itu cukup tajam.
"Buat?"
"Gagal jadi yang terbaik kali ini. Gue pasti ngecewain lo."
Arah pandang Karel masih tidak beranjak dari buku bersampul biru di pangkuannya. Perasaan bersalah pelan-pelan merambat ke dadanya. Karel gagal menjadi peringkat pertama, gagal pula menjadi yang kedua, hasil terbaik yang bisa dia torehkan hanya bisa membuatnya berlabuh di posisi ketiga. Ini jelas jauh dari target yang selalu Galant inginkan, juga yang telah Karel pertahankan selama satu tahun belakangan. Padahal Karel merasa sudah belajar dengan benar walau tidak setekun sebelumnya karena jelas kondisinya saat ini berbeda, sudah melakukan yang terbaik yang ia bisa, tapi mungkin banyaknya absen yang memenuhi buku catatan guru menjadi alasan utama kenapa peringkatnya kali ini turun dua strip dari sebelumnya.
Karel kecewa. Tapi ia tahu, Galant pasti lebih kecewa.
Karel larut dalam pikirannya, sampai ia bisa merasakan sentuhan hangat di puncak kepala, menuntunnya untuk mengangkat wajah. Saat ia menoleh, senyum hangat Galant menjadi sambutan pertama yang ia terima. Pelan-pelan meruntuhkan segala perasaan tak nyaman yang sejak tadi mengusiknya.
"Lo udah lakuin yang terbaik. Gue bangga sama lo."
Ada sengat menenangkan yang datang saat mendengar Galant berkata demikian. Bersamaan dengan hangat yang menjalar ketika tangan lelaki itu mengusap puncak kepalanya perlahan. Saat usapan itu berhenti dan Galant kembali menarik diri, hangat itu bahkan masih tetap tinggal. Membekas, menolak untuk hilang.
Galant memang paling tahu cara membuatnya merasa nyaman.
"Tapi dengan hasil ini, otomatis gue gagal penuhin tantangan lo dulu."
Karel ingat, dulu, Galant pernah menawarkan tantangan menarik saat ia lulus dengan nilai terbaik di sekolah dasar. Lelaki itu bilang, kalau Karel memang ingin menjadi lebih hebat darinya, setidaknya dia harus bisa menyamai prestasinya sebagai pemegang peringkat pertama dari bangku SD hingga lulus sekolah menengah atas. Keluar sebagai juara umum saat acara kelulusan, juga menjadi yang terbaik saat tes masuk perguruan tinggi. Waktu itu, tanpa ragu Karel menyanggupinya. Dan hasilnya luar biasa. Dia selalu jadi yang pertama. Sampai hari ini tiba, lalu semua harapannya pupus begitu saja.
"Gue nggak pernah nuntut lo buat selalu jadi yang pertama, Rel. Gue cuma minta lo selalu lakuin yang terbaik. Apapun itu, totalitas. Kalau udah bagus, pertahanin, kalau bisa tingkatin. Kalau ada yang kurang, perbaikin. Itu gunanya hari esok. Supaya kita bisa evaluasi apa aja yang kurang terus dibenerin."
"Gue emang nggak bisa jadi sehebat lo, Gal."
"Gue bilang apa soal hari esok? Hari lo masih panjang, masih banyak kesempatan. Kalau cuma gara-gara hari ini lo gagal terus nyerah, lo sama aja kayak pecundang! Pecundang itu sampah, dan lo tau banget gue nggak pernah suka orang kayak gitu."
Penegasan itu membuat Karel bungkam. Tapi diam-diam, ambisi dalam dadanya kembali terbakar. Karel sadar dia tidak boleh mengecewakan Galant lebih banyak lagi dari sekarang. Dia tidak ingin menjadi pecundang.
KAMU SEDANG MEMBACA
KAREL
Teen FictionBagi Karel, Galant adalah pahlawannya. Malaikatnya. Alasan dia untuk tetap bernapas di dunia. Sedang bagi Galant, Karel adalah hidupnya. Detak jantungnya. Segalanya.