Hari sudah kembali menyentuh pagi, matahari juga sudah cukup tinggi, tapi Karel, tante Mia dan Danish tetap tidak terlelap sama sekali. Ketiganya tidak bisa beranjak jauh dari ruangan Galant. Terutama Karel. Anak itu benar-benar tidak bisa jauh-jauh dari kakaknya. Bahkan saat tante Mia memaksanya pergi ke kantin rumah sakit untuk mencari makan, anak itu dengan tegas menolak sambil mengatakan tidak ingin meninggalkan Galant sendirian.
Padahal tante Mia tahu, anak itu juga lelah. Dia butuh istirahat, tapi seberapapun tante Mia memaksa, anak itu tetap tidak menurut juga. Karel bukannya bodoh. Tapi dia jelas lebih tahu kondisi tubuhnya sendiri. Dia merasa masih mampu, dan akan berusaha agar tetap seperti itu.
Pukul tujuh pagi, Karel merasa bahunya pegal sekali. Tapi saat melihat tante Mia dan Danish yang juga ikut terjaga bersamanya sambil sesekali terkantuk-kantuk di kursi tunggu depan kamar rawat Galant, Karel justru merasa iba pada mereka. Karel sudah menyuruh mereka pulang untuk mengistirahatkan badan, tapi tante Mia berkata sama sekali tidak keberatan. Danish pun demikian, walau tetap saja anak itu mengatakannya dengan gayanya yang menyebalkan. Karel tidak banyak berkomentar, bahkan saat Danish mengatakan beberapa hal yang sedikit membuat perasaannya tak nyaman, dia masih tetap diam. Karel benar-benar tidak sedang dalam suasana hati yang baik untuk diajak bertengkar.
Sampai akhirnya, menjelang pukul setengah delapan, dengan berat hati tante Mia harus pamit pergi karena urusan pekerjaan. Karel dengan mudah mengizinkan dan tante Mia pun bisa pergi dengan perasaan ringan setelah meminta Danish untuk tetap tinggal. Sekali lagi, Karel tidak bisa menentang. Dia membiarkan tante Mia pergi setelah wanita itu memeluknya singkat sambil mengatakan akan segera kembali begitu urusannya usai. Dan sekarang, tersisa dirinya bersama Danish di depan ruang rawat Galant. Duduk berjauhan tanpa ada yang berniat membuka obrolan.
Danish bukannya tidak peduli. Dia hanya tidak tahu bagaimana harus bersikap di depan anak itu sekarang. Mengingat hubungan keduanya yang tidak pernah baik selama ini, rasanya canggung sekali kalau tiba-tiba Danish harus memulai obrolan serius dengan anak itu. Mereka kan musuhan, mana mungkin bisa berdamai begitu saja seolah sebelumnya tidak pernah terjadi apa-apa.
Tapi Danish juga tidak bisa munafik. Berkali-kali dia melirik ke arah Karel, memastikan keadaan anak itu. Entah hanya perasaannya saja atau memang benar adanya, wajah Karel terlihat sedikit pucat dan beberapa kali anak itu memijat pelipisnya. Entah mengapa juga, perhatian Danish jadi sepenuhnya tertuju ke sana.
Apa-apaan?
Danish mengerjap cepat kemudian bangkit dari duduknya. Tanpa mengatakan apa-apa, dia bergegas meninggalkan lorong sepi itu menuju kantin rumah sakit yang letaknya berada di ujung paling barat gedung. Suasana kantin yang tidak terlalu ramai memudahkan Danish mendapatkan apa yang ia inginkan dengan cepat. Dia membeli satu bungkus roti dan satu botol air mineral kemudian segera kembali ke hadapan Karel setelah membayar.
Danish berhenti tepat dua langkah di depan Karel yang masih menunduk menatap lantai. Ketika melihat sepasang sepatu berada di hadapannya, barulah Karel mengangkat pandangan. Dia mendapati Danish berdiri di sana dengan wajah datar, tidak bisa diterjemahkan. Mata keduanya beradu, tapi kali ini Karel tidak lagi menangkap sorot tajam itu. Tatapan Danish melunak, walau masih terlihat dingin seperti biasa, setidaknya Karel merasa mata itu tidak lagi menusuknya.
Kemudian, tanpa kata, tangan kanan Danish terjulur begitu saja ke hadapannya. Karel menatap sebungkus roti dan air mineral di tangan cowok itu, sebelum mengembalikan pandangannya pada Danish.
"Makan! Biar nggak mati." ucapnya datar.
Karel melengos sembari mendorong tangan Danish dari hadapannya. Sementara Danish berdecih keras. Dia lupa kalau Karel itu manusia paling keras kepala yang pernah ada, untuk membuatnya melunak tentu bukan perkara yang bisa selesai hanya dalam sekali coba. Tapi Danish juga merasa Karel tidak sepenting itu sampai harus ia bujuk sedemikian rupa. Jadi, dia hanya akan mencoba sekali lagi dan jika anak itu tetap menolak, Danish bersumpah tidak akan lagi peduli.
KAMU SEDANG MEMBACA
KAREL
Teen FictionBagi Karel, Galant adalah pahlawannya. Malaikatnya. Alasan dia untuk tetap bernapas di dunia. Sedang bagi Galant, Karel adalah hidupnya. Detak jantungnya. Segalanya.