Sudah lebih dari tigapuluh menit Karel duduk di hadapan meja dapur, memerhatikan tante Mia yang sedari tadi sibuk dengan telur dan tepung, dan sekarang dia mulai bosan. Dia ingin kembali ke ruang tengah, tiduran di sofa sambil memainkan ponsel, tapi dia sudah terlanjur malas dengan Danish. Anak itu benar-benar punya keahlian luar biasa dalam membuatnya kesal. Seluruh kalimatnya adalah parang yang dalam sekali tusukan saja bisa membuat Karel kesakitan.
Dia mendengkus keras, jengah sendiri karena dari tadi tidak ada yang bisa ia lakukan. Tante Mia melarangnya membantu apapun. Alasannya, dia tidak mau Karel lelah. Padahal Karel tahu, alasan sebenarnya wanita itu melarang adalah karena tidak ingin barang-barang di dapurnya pecah. Persis seperti Galant. Lelaki itu juga tidak pernah mengizinkannya bermain di dapur, katanya takut Karel bikin ulah. Menyebalkan! Kalau begini, Karel jadi merasa benar-benar seperti bocah.
"Tante," setelah cukup lama diam, akhirnya Karel berniat kembali merangkai obrolan. Diam itu tidak enak dan Karel tidak pernah suka. Karena itu, setelah memilah topik yang sekiranya pantas untuk dijadikan bahan obrolan, Karel segera memecah keheningan di sana dengan panggilan pelan yang langsung mendapat balasan dari tante Mia.
Wanita itu berdeham singkat tanpa mengalihkan fokusnya dari adonan kue setengah jadi di hadapannya.
"Papa ngomong apa aja?"
Sejujurnya Karel benci topik ini. Tapi tak bisa dipungkiri, sejak pertama kali tante Mia menyebut nama papa di meja makan tadi, rasa ingin tahu Karel tentang sosok itu seperti melecut tinggi. Dia juga ingin mendengar kabar pria itu, mengetahui apakah dia hidup dengan baik atau tidak. Apa dia begitu bahagia dengan kehidupannya, atau pertanyaan lain seperti tidak adakah sedikit saja rasa rindu yang terbersit dalam hati pria itu untuk kedua putranya? Atau memang rasa itu sudah benar-benar mati untuk mereka?
Karel ingin tahu, namun di saat yang sama, ia juga takut mendengar kenyataan. Ia takut kenyataan lagi-lagi akan mengecewakannya.
Mendengar pertanyaan Karel, tante Mia beralih, menghentikan kegiatannya sejenak lalu menatap anak itu lekat. Ada pilu yang menguar dari balik mata legam itu, tante Mia tahu. Tapi dia berusaha tersenyum, berharap dengan begitu, sepasang bola mata jernih di hadapannya tidak lagi terlihat sendu.
"Coba tebak, siapa yang pertama kali papa tanyain pas nelpon tante!"
Karel mengernyit, tapi tidak berniat menjawab pertanyaan tante Mia. Lagipula dia tidak pernah mengenal sosok papa, terlalu sulit baginya untuk menebak pria itu karena Karel memang tidak tahu apa-apa.
"Kamu. Dia tanya udah sebesar apa kamu sekarang. Dia juga nanyain bang Galant, gimana pekerjaannya, gimana dia jaga tanggung jawabnya sama kamu sampai sekarang. Hampir semua yang kita obrolin tentang kalian."
Karel berdecih, "tau apa dia soal tanggung jawab."
Tante Mia seketika bungkam. Matanya masih menatap Karel, tapi bukan lagi pilu yang sekarang ia temukan di wajah itu, melainkan amarah yang kemudian melebur menjadi kekecewaan. Sejenak suasana menjadi kaku, sampai suara helaan napas panjang tante Mia terdengar, lalu wanita itu kembali berujar.
"Dia peduli sama kalian, Rel."
"Kalo peduli, dia harusnya pulang, bukan ngilang." sergah Karel. Ada api yang pelan-pelan membakar dadanya, dan sebelum api itu melebar kemana-mana, Karel harus segera memadamkannya. Dia membuang napas keras, kemudian berpaling bergitu saja. "Mungkin definisi peduli menurut tante beda sama aku." katanya.
Baru saja tante Mia hendak membuka suara, namun seketika tertahan saat ponsel Karel berdering di atas meja. Akhirnya dia hanya diam, menelan kembali seluruh kalimat pembelaan untuk kakaknya. Dia menghela napas panjang, membiarkan Karel mulai beralih pada ponsel yang berteriak memohon perhatian.
KAMU SEDANG MEMBACA
KAREL
Teen FictionBagi Karel, Galant adalah pahlawannya. Malaikatnya. Alasan dia untuk tetap bernapas di dunia. Sedang bagi Galant, Karel adalah hidupnya. Detak jantungnya. Segalanya.