Kehamilan Agnes memasuki trimester kedua. Biasanya, Karel yang lebih banyak menemani wanita itu di rumah. Dari pulang sekolah, Karel yang mendampingi wanita itu kalau-kalau dia memerlukan sesuatu. Mendengarkannya bercerita, menemaninya melihat-lihat perlengkapan bayi di toko online, terkadang juga mengantarnya keluar jika Agnes sedang ingin jalan-jalan.
Tapi hari ini berbeda, dia tidak bisa pulang cepat karena harus mengikuti kegiatan ekstra. Hingga menjelang pukul empat, dia baru selesai mengikuti kegiatan dan berjalan kembali ke kelas bersama Elang untuk mengambil tas.
"Dijemput nggak lo?" tanya Elang, sembari membuka bungkusan permen karet dan mengunyahnya dengan santai.
"Nggak. Pake taksi gue."
"Nebeng gue aja sekalian."
Karel berdecak singkat. "Rumah kita sekarang beda arah. Muternya jauh kalau lo nganter gue dulu. Udahlah, nggak usah."
"Ya sebenernya gue juga cuma basa-basi doang, sih. Syukur kalau lo nolak mah." Elang tertawa dan sedetik kemudian tangan Karel mendarat di kepalanya.
"Setan!" umpatnya.
Tawa Elang masih menggema, seolah tidak peduli dengan wajah keruh yang Karel perlihatkan. Hingga tepat ketika langkah keduanya berbelok di lorong panjang menuju ruang kelas mereka, Elang mencoba membawa dirinya mendekat pada Karel, merangkul pundak anak itu, lalu menyuarakan kembali kalimatnya.
"Btw nih, semenjak lo pindah rumah, gue belum pernah diajakin main lho."
"Males. Lo kalo dateng ngabisin makanan. Tekor gue." sahut Karel sembari menurunkan tangan Elang dari pundaknya, sementara cowok itu berdecak kesal.
"Heh, lo pernah nonton azab Indosiar gak?" tanya Elang. Mata Karel menyipit sebentar sebelum akhirnya dia menggeleng ringan.
"Nggak pernah. Kenapa emang?"
"Dari yang gue tonton, orang pelit kayak lo nih, yang nggak pernah rela berbagi kebaikan sama temen sendiri, pas mati jenazahnya gosong, habis itu kuburannya keluar api. Meledak. Lo nggak takut?"
Raut muka Karel tampak jengah dan dia hanya bisa mendesah malas setelahnya. Otak Elang itu sepertinya memang tercipta dengan segala macam keajaiban di dalamnya. Terkadang, anak itu bisa menjadi dewasa dengan pemikiran yang matang dan bijak sekali, tapi kadang kala, dia juga bisa menjadi begitu menjengkelkan sampai bikin Karel harus mengumpat habis-habisan dalam hati.
"Lo tuh jangan keseringan nonton FTV, bahaya. Lama-lama hidup lo ikutan drama." ucap Karel. Detik selanjutnya, tawa Elang kembali pecah di tengah lorong sepi menuju kelas mereka. Menggema. Sampai Karel harus memukul keras lengan anak itu agar dia berhenti tertawa.
"Sory sory," katanya. Dia berdeham pelan untuk menetralkan suaranya sebelum akhirnya melanjutkan dengan lebih santai. "Yang suka nontonin begituan tuh sebenernya nyokap, cuma kan dia nonton di depan gue, ya mau nggak mau gue ikut liat. Lagian ya, Rel, yang hidupnya drama tuh elo deh.. bukan gue."
"Maksud lo?"
"Ya.. gitu pokoknya. Hidup lo tuh nggak se-enjoy kita kita, Rel. Ngerasa nggak?"
Sepasang mata Karel menyipit. Dalam diam, dia berusaha menerka maksud perkataan Elang. Dan dia sepenuhnya paham. Dia tahu apa yang anak itu coba bicarakan. Namun, sebaliknya, Karel enggan menanggapi dan memilih untuk tidak memperpanjang topik yang sedang Elang perbincangkan.
"Nggak, sih. Biasa aja." katanya. Dia kemudian sedikit mempercepat langkah, meninggalkan Elang satu setengah meter di belakang. Sampai suara seseorang terdengar, membuat laju kakinya tertahan.
"Lo nggak tau aja, Lang.. temen lo itu, lagi takut banget posisinya terancam."
Karel mengenal betul suara itu. Suara yang setiap hari membuatnya kesal. Suara yang selalu hadir hanya untuk membuatnya merasa semakin tidak nyaman. Itu Danish, dan Karel sebetulnya tidak perlu berbalik badan untuk membuktikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
KAREL
Teen FictionBagi Karel, Galant adalah pahlawannya. Malaikatnya. Alasan dia untuk tetap bernapas di dunia. Sedang bagi Galant, Karel adalah hidupnya. Detak jantungnya. Segalanya.