Page 5

15.3K 1.3K 280
                                    

Setelah memastikan adiknya terlelap sempurna di kamarnya, Galant menutup kembali daun pintu pelan-pelan kemudian melangkah ke ruang tengah, dia mengeluarkan ponselnya dari saku celana dan segera menghubungi seseorang.

"Halo, Ga. Lagi sibuk nggak?" sapanya begitu suara familiar menjawab panggilannya di seberang. Galant bisa mendengar Rega bergumam, kemudian dengan santai lelaki itu mengatakan bahwa untuk Galant, dia selalu punya waktu luang.

Jujur saja, mendengar Rega bicara seperti itu Galant sempat merasa tersentuh sebentar. Meski ia tahu betul kalimat Rega tadi tak lepas dari gurauan, Galant percaya bahwa apa yang lelaki itu katakan memang sebuah kebenaran. Galant bisa menangkap ketulusan di balik nada bicaranya yang selalu tenang. Ditambah lagi, sampai detik ini, hanya Rega satu-satunya orang yang bisa selalu ia andalkan.

"Nggak juga. Kenapa? Tumben nelpon jam segini, nggak ngajar lo?"

"Gue ijin."

"Lho, kenapa? Lo sakit? Atau adek lo kambuh?"

Galant mengusap wajah kasar kemudian duduk di sofa panjang ruang itu. Sekarang, dia benar-benar tak bisa lagi menyembunyikan resah yang daritadi mati-matian ia sembunyikan. "Itu dia, Ga. Si Karel udah kambuh dua kali dari semalem, padahal sebelum ini dia oke. Gue kok jadi takut, ya."

Ada jeda beberapa saat sebelum akhirnya suara gumaman terdengar disusul tarikan hangat ringan yang sangat Galant kenal. "Gue nggak bisa kasih kesimpulan pastinya tanpa lakuin pemeriksaan langsung. Tapi denger penjelasan lo barusan, gue rasa masalahnya bukan di kondisi fisik dia deh."

"Terus?"

"You know what i mean, Gal."

Sejenak Galant diam, berusaha mencerna apa yang barusan Rega tuturkan. Dia mengernyit, sampai otak cerdasnya berhasil menarik satu kesimpulan. "Banyak pikiran?"

"Mungkin. Dari hasil check up terakhir kan nggak ada masalah, kondisi fisik dia juga oke. Kemungkinan besar yang bikin dia drop ya cuma satu, pikiran."

"Kok bisa gitu, sih? Mikirin apaan coba tuh bocah? Perasaan gue nggak pernah nekan dia banget deh. Nggak pernah cerita yang berat-berat juga. Gue kalo lagi capek atau ada masalah ya gue simpen sendiri, nggak pernah bilang-bilang."

"Itu dia yang lo nggak peka, Gal. Kali aja dia drop justru karena mikirin lo."

Galant diam dan seketika ingatannya diseret pada kejadian semalam. Dia ingat bagaimana anak itu merengek minta diizinkan kembali turun ke lapangan namun langsung ia tentang mati-matian. Bisa jadi hal itu adalah salah satu penyebabnya tapi mungkin juga ada hal lain yang tak bisa Galant tafsirkan sepihak. Anak itu memang kelewat terbuka, tapi bukan berarti dia tak pandai menyembunyikan lukanya. Untuk beberapa hal, terkadang Galant membenci sifat Karel yang seperti itu.

Lagi, Galant menghela napas panjang dan menyandarkan kepalanya ke sofa. Sejenak dia memejamkan mata, membiarkan tenang itu kembali datang seiring bibirnya terbuka merangkai kata.

"Gue harap sih bukan. Tapi kalo emang iya, gue harus gimana, Ga?"

"Kalo menurut gue sih mending lo lebih terbuka deh mulai sekarang ke dia. Ceritain semua yang jadi beban lo, biarin dia tau, supaya dia juga bisa ngerti posisi lo. Kalo lo diem dan biarin dia nggak tau apa-apa, yang ada tuh anak bakal kepikiran lo terus. Tau sendiri kan Karel tuh anaknya pemikir banget, apa-apa pasti dipikirin, ujung-ujungnya drop sendiri."

"Justru karena dia anaknya pemikir, takutnya kalo gue cerita malah dia jadiin beban. Baperan banget sih itu anak."

"Ya ini cuma saran gue aja, semua terserah lo sih. Lo yang paling tau adek lo, lo juga pasti lebih paham mana yang baik buat dia dan mana yang enggak. Besok ke sini aja ketemu gue, biar gue bisa lakuin pemeriksaan lanjutan."

KARELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang