Page 7

11.8K 1K 86
                                    

Karel memerhatikan Galant yang sibuk dengan laptop miliknya. Lelaki itu memfokuskan pandang pada jajaran aksara di sana tanpa menyadari kegelisahan yang sejak tadi mati-matian Karel sembunyikan. Pria itu benar-benar tenggelam dalam kesibukannya sampai tidak tahu kalau sejak awal dirinya diperhatikan.

Karel menghela napas panjang lalu meletakkan ponsel yang daritadi ia genggam. Dia masih menunggu kedatangan Elang, tapi pikirannya terus bergemuruh tak tenang. Ada perasaan bersalah yang mengusik hatinya setiap kali dia melihat Galant. Ada sesuatu dalam dirinya yang seolah menariknya untuk mundur, namun dengung kalimat Elang kemarin juga selalu bisa membuatnya urung.

Karel bingung. Di satu sisi dia tak ingin mengecewakan Galant, tapi di sisi lain dia juga lelah di kekang. Dia ingin bebas. Setidaknya satu kali saja dan ia akan membuktikan pada Galant bahwa ia bisa baik-baik saja dengan pilihannya. Dia juga bisa dipercaya untuk menjaga dirinya sendiri tanpa lelaki itu perlu mengawasinya.

Tapi ... entah. Rasanya seperti dia sedang berjalan di belakang Galant tanpa sepengetahuan lalu menikamnya diam-diam. Rasanya pasti menyakitkan.

Lagi, helaan napas berat Karel terdengar. Dia sedikit bergerak di atas sofa, mencari posisi ternyaman sebelum akhirnya memutuskan untuk memecah keheningan.

"Sibuk banget sih, bang. Weekend gini masih kerja aja?"

Galant hanya melirik Karel sebentar kemudian mengembalikan fokusnya ke layar. "Gue kan bukan pegawai kantoran yang kalo weekend bebas dari kerjaan, Rel. Yang namanya tugas guru mah kapanpun ada waktu luang ya dikerjain."

"Ribet ya jadi guru?"

"Nggak juga, sih. Kalau lo ngejalaninnya enjoy mah enak-enak aja."

Karel mengangguk paham. Tapi sedetik kemudian otaknya seperti mendapat pencerahan. Dia jadi ingat, ada pertanyaan yang sejak dulu ingin sekali ia tanyakan.

"Lo kenapa sih milih jadi guru? Padahal kan lo punya basic olahraga yang bagus, punya skill, kenapa nggak milih jadi atlet aja? Setahu gue gaji atlet jauh lebih gede dari guru. Belum lagi bonus sana-sini kalo menang. Atlet bulutangkis yang kemaren juara olympic tuh, dapet rumah tau dari pemerintah. Terus yang juara Asian Games tahun lalu, bonusnya ngalir kek banjir, lancar banget."

"Kalau gue jadi atlet terus masuk pelatnas, lo gimana? Yakin mau ditinggal sendirian?"

Jawaban Galant kali ini berhasil membuat Karel bungkam. Sesal itu kembali datang dan dia tak bisa menghindar. Lagi-lagi karena dirinya, Galant jadi mengambil pilihan yang tidak ia suka. Gara-gara dia, Galant menjauhi mimpinya. Karel tahu Galant telah mengorbankan segalanya dan sekarang dengan tidak tahu diri dia justru mengkhianati kepercayaannya. Benar-benar cara balas budi yang sempurna!

Karel melengos begitu saja, merasa muak dengan dirinya. Diam-diam dia bahkan sudah mengepalkan tangan, berusaha menekan gemuruh yang menghantam dada. Namun, Galant memang selalu lebih pandai membaca suasana.

Menyadari perubahan raut muka adiknya, lelaki itu buru-buru menyela. Dia tahu betul apa yang saat ini Karel pikirkan dan dia tak ingin pikiran itu kembali menyakiti hatinya yang memang rentan terluka.

"Nggak usah dipikirin, gue nggak serius pengen jadi atlet, kok. Gue seneng sama pekerjaan gue sekarang dan gue nyaman. Harusnya lo tuh yang mulai mikirin mau jadi apa. Jangan cuma mikirin game sama komik aja bisanya."

"Gue nggak akan pernah bisa jadi apa-apa." gumam Karel pelan dengan binar kekecewaan di matanya. Galant bisa mendengar suaranya, tapi tak bisa menangkap dengan jelas apa yang dia katakan.

"Lo ngomong apaan?"

Karel medongak, mulutnya sudah terbuka hendak melontar kata, namun suara melengking seseorang lebih dulu mengambil alih perhatian mereka. Karel dan Galant refleks menoleh ke arah pintu yang terbuka. Elang datang dengan wajah riang dan senyum mengembang lebar, membuat Karel diam-diam mengembuskan napas panjang. Lega karena kedatangan Elang menyelamatkannya dari pertanyaan yang sebetulnya tak ingin ia jawab.

KARELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang