Page 27

11.3K 927 340
                                    

Lima tahun lalu, di atap gedung sekolah yang jarang sekali dijamah orang, Danar, memilih untuk menghabiskan waktunya sembari memandangi angkasa yang terlihat kelam. Matanya tampak menerawang, memikirkan banyak hal. Ada banyak sekali beban yang membuatnya kesulitan. Ada banyak tekanan yang hanya bisa ia pendam, tidak bisa ia ungkapkan.

Namun, sejatinya, semua itu hanya bersumber pada satu orang. Ayahnya.

Ini semua tentang ayahnya yang selalu menuntutnya untuk menjadi yang paling sempurna dalam segala hal. Ayahnya yang tidak pernah menerima kegagalan. Ayahnya yang hanya akan bersikap baik padanya jika dia menjadi yang pertama setiap ulangan. Danar memang tidak pernah mengeluhkan apapun, tapi bukan berarti dia menyukai hidupnya yang seperti ini. Dia tertekan, bahkan, berkali-kali rasanya dia ingin berhenti saja. Dia lelah, sayang, dia tidak tau bagaimana caranya menyerah.

Danar baru akan berbalik, hendak meninggalkan tempat itu, saat suara seseorang terdengar dari belakang disusul suara langkahnya yang perlahan mendekat ke arah Danar. Danar refleks membalik badan, sedikit tersentak saat mendapati Carlos berada di sana. Tersenyum miring padanya.

Carlos, rajanya pembuat onar di sekolah. Juga orang yang selalu menjadikannya sasaran setiap kali dia merasa kalah dari Galant. Carlos, yang sering diam-diam membawa pasukan untuk menghajarnya di gedung tak terpakai belakang sekolah. Carlos, yang sampai hari ini menjadi yang paling Danar takuti selain ayah.

"Kebetulan apaan nih? Gue lagi bete, dan ketemu lo di sini. Kayaknya, tangan gue emang jodoh banget sama muka lo deh." Pemuda itu terkekeh sembari melangkahkan kakinya mendekat. Sementara Danar beringsut mundur, berusaha menghindari pemuda itu. Walau percuma, dia tetap tidak bisa menghindari Carlos yang sekarang berdiri tepat di depannya.

"Kenapa? Takut lo?" Carlos tertawa kecil. Melihat raut muka Danar yang begitu tegang rasanya benar-benar menyenangkan. Apa dia semenakutkan itu?

"Sory. Gue mau balik ke kelas." Danar hendak pergi, namun dengan sigap Carlos menahannya, kemudian berbisik tepat di samping telinganya.

"Santai aja, men. Gue lagi nggak ada masalah sama Galant, hari ini lo aman."

Bukannya tenang, Danar justru semakin gusar. Nada bicara Carlos terdengar begitu rendah dan tajam, seperti mengisyaratkan ancaman. Danar hendak kembali maju, berniat ingin segera meninggalkan tempat itu, tapi lagi-lagi tangan Carlos menahannya.

"Kenapa sih buru-buru banget? Segitu takutnya lo sama gue? Cemen!"

Kali ini Danar mengangkat wajah, memberanikan diri membalas tatapan pemuda itu. Dia sudah terlalu sering ditindas. Rasanya jengah juga terus-terusan berada di bawah. Sesekali, Danar juga ingin memberontak. Dia juga punya batas lelah, ada saatnya dia muak menjadi pihak yang selalu diinjak.

Maka, detik itu, Danar menepis kasar tangan Carlos dari bahunya. Membuat raut muka pemuda itu berubah seketika.

"Gue capek ya jadi mainan lo terus. Kalau lo punya nyali, hadepin orangnya langsung. Masalah lo sama Galant, kan? Selesein dong sama orangnya. Jangan kayak banci yang beraninya main belakang."

Mendengar itu, amarah Carlos tersulut. Kedua tangannya mengepal kuat sementara garis wajahnya mengeras, menahan emosi yang nyaris meluap. Suara kekehannya terdengar ringan di telinga Danar, namun tatapannya menajam, membuat Danar diam-diam memundurkan langkah ke belakang. Dia tidak tahu darimana keberanian itu datang hingga mulutnya bisa berucap dengan begitu lantang. Yang ia tahu, sekarang, ia sedikit menyesal.

"Wow! Udah berani ngatain gue sekarang?" Carlos tersenyum miring, tapi sedetik kemudian senyum itu hilang dan bibirnya kembali datar. "Ngomong apa lo tadi? Coba, gue mau denger sekali lagi."

KARELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang