Karel bangun, di hari kelima belas sejak kejadian malam itu. Setelah membuat Galant hampir gila, setelah perlahan-lahan menggoyahkan keyakinan semua orang bahwa anak itu akan terjaga. Pada akhirnya, hari ini, tepat pukul sepuluh pagi, sepasang mata itu kembali bertemu dengan hingar bingar dunia. Menyapa cahaya yang pagi itu masuk melalui celah jendela.
Galant luar biasa bahagia. Dia bahkan sampai menangis di pelukan papa saat mendengar anak itu siuman, setelah berhari-hari membuat nyawanya seolah tidak berada pada tempatnya. Rasanya semua beban di pundaknya melebur begitu saja, menguap bersama air mata yang ia biarkan jatuh di depan papa. Galant lega. Adiknya telah kembali. Hanya dengan fakta itu saja, Galant merasa sudah tidak lagi membutuhkan apa-apa. Galant hanya perlu Karel sebagai alasan dia untuk hidup, dan kini dia mendapatkannya.
Galant tidak tahu sejak kapan anak itu menjelma menjadi dunianya. Menjadi tempat ia hidup, dan menggantungkan hidupnya. Tapi Galant bersungguh-sungguh saat ia mengatakan berani mati untuk adiknya. Karena jika anak itu tiada, mungkin Galant juga tidak akan ragu untuk membuat dirinya tiada.
Sepenting itu Karel untuknya.
Sekarang pukul dua siang dan anak itu sudah mulai bisa berinteraksi dengan normal. Sebelumnya, dia sempat agak kesulitan diajak bicara. Dokter bilang, hal itu hanya efek kecil dari tidur panjangnya. Tidak akan berlangsung lama. Karel hanya butuh waktu sebentar untuk menyesuaikan diri dengan sekitar, mencoba mencerna apa yang terjadi. Dan sekarang, setelah kesadarannya sudah sepenuhnya pulang, dia akhirnya bisa kembali merespons orang-orang.
Galant duduk di sisi brankar, sambil menyuapinya bubur rumah sakit yang jika dalam keadaan normal pasti akan Karel tolak mentah-mentah karena rasanya hambar. Tapi berhubung tenaganya belum terkumpul dan dia juga sedang malas bicara banyak, dia hanya menurut saja saat tangan lelaki itu membawa sendok ke depan mulutnya. Karel tampak menikmati, walau sebetulnya tidak demikian.
Karel hanya sedang merindukan Galant, jadi dia ingin benar-benar menikmati segala bentuk perhatian yang lelaki itu berikan untuknya tanpa sedikitpun bantahan. Bahkan, selain menelan bubur, yang dari tadi Karel lakukan hanya memerhatikan bagaimana Galant bergerak. Memandangi setiap lekuk wajah lelaki itu.
Samar-samar Karel ingat, malam itu, dia meninggalkan Galant. Lalu saat tubuhnya dihantam dengan keras dan dunianya seperti berhenti berputar, Karel pikir, dia tidak akan pernah melihat Galant lagi setelahnya. Dia pikir dunianya telah berakhir, tidak ada lagi hidup, tidak ada lagi Karel, tidak ada lagi Galant.
Namun, saat pagi tadi ia kembali merasakan silau cahaya mentari menusuk penglihatannya, saat itu pula ia sadar.. dunianya belum berakhir. Hidupnya belum berakhir. Dia masih di sini, bersama kakaknya. Satu-satunya orang yang menjadi alasannya untuk bangun.
"Udah aja. Kenyang." tolak Karel, sembari mendorong pelan sendok yang kembali Galant sodorkan. Sebetulnya dia masih ingin, tapi perutnya sudah terasa penuh, tidak bisa lagi menerima suapan berikutnya.
Galant pun tidak ingin memaksa. Dia meletakkan mangkuk buburnya ke meja dan beralih mengambil segelas air putih, lalu membantu Karel minum dengan hati-hati.
"Udah?"
Karel mengangguk dan Galant segera mengembalikan gelas minum itu ke tempat semula. Setelahnya dia kembali duduk dengan nyaman, sambil memandangi Karel yang setengah duduk di atas ranjang.
Cukup lama keduanya diam. Tatapan Galant berubah sendu, dan Karel bisa dengan jelas menangkapnya. Tiba-tiba saja perasaannya tak tenang. Karel yakin, pasti ada yang tidak beres dengan Galant. Terlebih saat mengingat hanya ada lelaki itu di sini sejak ia bangun. Tanpa istrinya. Apa mungkin terjadi sesuatu di antara mereka?
Ah, sebenarnya ada satu orang lagi. Papa. Pria itu ada di sini ketika ia membuka mata. Mereka juga sudah sempat bicara sebentar tadi, tapi karena Karel belum bisa banyak menanggapi, papa akhirnya memilih untuk memberinya waktu dan pergi. Janjinya hanya sebentar, tapi sampai saat ini pria itu bahkan belum kembali.
KAMU SEDANG MEMBACA
KAREL
Teen FictionBagi Karel, Galant adalah pahlawannya. Malaikatnya. Alasan dia untuk tetap bernapas di dunia. Sedang bagi Galant, Karel adalah hidupnya. Detak jantungnya. Segalanya.