Malam ini, langit pekat di atas sana akan penuh dengan warna. Tawa di bawahnya juga akan melebur bersama gempita, menyatu di antara ledakan-ledakan kecil yang kemudian menjelma menjadi riuh semesta. Malam pergantian tahun memang selalu punya cerita.
Sama seperti bagaimana semesta akan mempertontonkan gemerlapnya pada semua yang ada, Karel juga punya kisah untuk dia tuliskan di halaman terakhir dari catatan tahunannya. Liburan ala keluarga bahagia yang penuh tawa akan menjadi penutup Desembernya tahun ini. Setidaknya itu yang Karel pikirkan saat Galant bilang akan mengajaknya ke puncak untuk merayakan malam tahun baru sekaligus menghabiskan sisa waktu liburan mereka. Bersama keluarga Agnes dan Danish, tentu saja.
Kata Galant, lebih banyak yang ikut lebih menyenangkan. Padahal, kalau boleh jujur, Karel lebih suka pergi liburan bertiga saja. Hanya dia, Galant, dan Agnes. Tidak perlu ada Danish yang pasti cuma bakal bikin Karel kesal. Tidak juga perlu orang tua Agnes yang secara tidak langsung pasti akan membatasi geraknya. Tapi, kalau Galant sudah memutuskan, Karel bisa apa? Tidak ada yang bisa ia lakukan selain diam seolah ia benar-benar menerima semuanya.
Tapi awas saja sampai si Danish sialan itu berani macam-macam, Karel racunin minumannya pakai obat nyamuk bakar.
Pukul setengah sembilan, Karel sudah selesai berkemas, kini hanya tinggal menunggu Galant mengajaknya berangkat. Cowok itu membawa langkahnya keluar kamar menuju dapur, membuka pintu kulkas dan mengambil satu susu kotak dari sana. Sambil diam-diam memerhatikan Galant yang sedang mondar-mandir mempersiapkan segala hal.
Semula Karel tidak terlalu peduli. Dia bahkan sengaja tidak ingin mendekat hanya agar tidak disuruh membantu itu dan ini. Dia justru berniat ingin mengambil makanan ringan dan memakannya sebelum pergi, saat tiba-tiba pendengarannya menangkap nada suara Agnes yang tak biasa. Wanita itu terdengar bahagia, padahal dia hanya sedang duduk di sofa sambil menggeser-geser layar ponselnya.
"Lihat deh, sayang. Lucu-lucu banget ya mereka?"
Tanpa diminta, logika Karel seolah menuntunnya untuk ikut merekam semua. Keningnya mengernyit, penasaran apa yang sebetulnya sedang Agnes lihat di sana. Satu detik semua masih terlihat biasa, tidak ada yang menarik selain bagaimana senyum Agnes mengembang selama jemarinya bergerak di atas layar. Detik berikutnya Galant mendekat lalu ikut melihat apa yang ingin Agnes tunjukkan padanya. Setelahnya mereka tertawa, seperti biasa. Itu hal yang wajar yang hampir setiap hari Karel saksikan.
Pelan-pelan rasa ingin tahu cowok itu menguap. Tidak ada lagi yang menarik perhatiannya untuk tetap merekam pembicaraan mereka. Jadi, detik itu Karel memilih untuk tidak peduli. Dia kembali membuka pintu kulkas dan mencari sesuatu yang bisa ia makan.
Namun, sepertinya semesta memang senang sekali menempatkan dirinya sebagai seorang penguping pembicaraan orang. Suara Agnes dari sofa lagi-lagi berhasil membuat Karel berhenti sejenak dari kegiatannya.
"Seru kali ya kalau kita punya anak kayak mereka. Rumah ini pasti bakal rame jadinya."
Oh, sekarang Karel paham apa yang daritadi Agnes bicarakan. Ini tentang anak yang selalu wanita itu harapkan.
Detik itu Karel membeku di tempatnya. Sudah bukan rahasia lagi kalau Agnes itu ingin sekali punya seorang anak yang bisa ia besarkan. Menggendongnya, menemaninya tidur setiap malam, memberikan apapun yang anak itu butuhkan. Sebagai seorang wanita, Agnes juga ingin dirinya dipanggil 'Mama'.
Sejak insiden hari itu, Karel tahu Agnes akan sulit punya keturunan. Bukan sesuatu yang mustahil, tapi kata Galant, mereka mungkin harus melewati proses yang panjang. Sejak saat itu pula Karel tahu betapa besar keinginan Agnes dan Galant untuk merawat seorang anak setelah mereka kehilangan calon bayinya dulu.
KAMU SEDANG MEMBACA
KAREL
Teen FictionBagi Karel, Galant adalah pahlawannya. Malaikatnya. Alasan dia untuk tetap bernapas di dunia. Sedang bagi Galant, Karel adalah hidupnya. Detak jantungnya. Segalanya.