Kunci rumah gue taruh deket pot bunga yang gede. Nanti kalau pulang, cari aja di situ. Gue sama Agnes mau keluar dulu. Kayaknya rada malem baru pulang.
Karel sempat terpaku beberapa detik setelah membaca pesan itu. Matanya bahkan kembali bergulir menelusuri aksara yang tertulis di sana walau sebenarnya dia sudah memahami maksud pesan itu dalam sekali baca. Ini hal baru yang Karel rasakan. Dimana kakaknya menjadi lebih sering meninggalkannya sendirian.
Ah, lelaki itu bahkan tidak menanyakan jam berapa ia akan pulang. Karel tahu, mungkin ia sedikit berlebihan, tapi sungguh, ia sama sekali tidak nyaman dengan Galant yang sekarang.
Karel mengerjap, berusaha menepis pikirannya lalu menyimpan ponselnya kembali. Dia menghela napas panjang sambil mengarahkan pandangannya ke depan, memerhatikan lalu lalang murid menuju pintu gerbang karena sekolah baru saja dibubarkan. Perasaan ini... pasti hanya karena ia belum terbiasa melihat kakaknya berbagi perhatian dengan orang lain. Dia hanya perlu menyesuaikan diri, berusaha terbiasa menerima perhatian Galant yang jelas akan jauh berkurang dari sebelumnya. Sekarang, yang lelaki itu punya bukan hanya dirinya saja. Dia punya istri, jelas, dia harus menyayangi istrinya juga.
Ini hanya masalah waktu dan Karel berusaha menjadi lebih dewasa untuk itu.
Lagipula, dia sudah bilang kalau dia bahagia asal Galant bahagia, kan? Karel tidak ingin menjadi munafik dengan mengkhianati ikrarnya sendiri.
Tapi sekarang rasanya dia jadi malas pulang. Tidak ada siapapun di rumah, tidak ada pula yang bisa ia kerjakan, dia pasti kesepian. Tapi dia juga sedang tidak ingin pergi kemanapun. Rumah Elang? Anak itu baru saja cerita, kerabatnya dari Surabaya sedang berkunjung ke rumahnya. Dan Karel masih punya malu untuk tiba-tiba datang ke sana lalu menjadi orang asing di antara mereka.
Karel masih sibuk berperang dengan pikirannya, saat tiba-tiba langkah seseorang berhenti tepat di sebelahnya. Karel lantas menoleh, berdecak lirih saat mendapati Danish di sana.
"Nggak dijemput lo?" tanya Danish. Basa-basi, Karel tahu itu.
"Basa-basi lo basi. Lo kan tau abang gue nggak pernah antar jemput lagi sekarang."
Danish tersenyum miring. Dia tahu, sejak menikah, abang kesayangannya itu memang tidak pernah punya banyak waktu lagi untuk Karel. Danish tahu, karena anak itu sendiri yang bilang. Ah, perlukah dia mengatakan kalau hubungannya dengan mantan musuh besarnya itu jadi sedikit lebih baik sejak Galant menikah? Tidak bisa dikatakan baik, sih. Tapi setidaknya, mereka lebih sering bicara berdua sekarang.
"Jadi ceritanya lo dinomorduain sekarang? Kasian." ejek Danish.
"Diem lo!"
"Gue salah? Kan emang bener, prioritas bang Galant sekarang bukan lo lagi. Lo, cuma jadi nomor dua. Yang pertama, ya jelas istrinya lah."
"Bacot! Maksud lo ngomong gitu apaan?"
"Kalem dong. Gue kan ngingetin lo doang. Biar lo sadar posisi lo sekarang."
Karel bungkam, merasa tersudutkan dengan kalimat Danish. Satu yang Karel sadari betul tidak pernah berubah dari dulu, Danish selalu punya cara untuk membungkamnya. Karel benci mengakui ini, tapi semua yang Danish katakan memang benar. Sangat benar sampai dia merasa ingin marah pada dirinya sendiri. Kenapa dia tidak membuka matanya lebih awal? Jika Danish saja paham, seharusnya dia bisa lebih dari itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
KAREL
Teen FictionBagi Karel, Galant adalah pahlawannya. Malaikatnya. Alasan dia untuk tetap bernapas di dunia. Sedang bagi Galant, Karel adalah hidupnya. Detak jantungnya. Segalanya.