Ramika pamit pulang, setelah lima hari mengingap di rumah Agnes dan Galant. Suaminya yang semula pergi karena urusan pekerjaan ke luar kota baru saja mengabari bahwa ia akan kembali ke Jakarta hari ini. Jadi tepat setelah mereka semua selesai sarapan dan memastikan semua barangnya terkemas rapi, wanita itu segera pamit untuk pergi. Walau sebenarnya, sebagian hatinya masih ingin sekali tinggal di rumah ini. Bersama putri dan menantunya.
"Kalian tuh jangan sibuk-sibuk terus. Luangin lah waktu buat kesenangan berdua. Kalau kamunya sibuk, Galant juga sibuk, kapan mama dapat cucunya?"
Sejenak, Agnes melirik Galant yang pagi ini tampak jauh lebih tenang dari hari-hari sebelumnya. Lelaki itu hanya menarik ujung bibirnya singkat, kemudian lanjut meminum kopinya.
"Nanti, mama." sahut Agnes. Dia baru saja selesai menumpuk piring bekas sarapan mereka dan meletakannya ke wastafel. Dia kemudian menyodorkan segelas susu ke hadapan Karel yang sejak awal memilih diam, hampir tidak terlibat perbincangan.
"Nanti kapan? Mama ini udah nggak sabar lho mau nimang cucu."
Agnes tersenyum, sembari membantu mendekatkan tas berisi pakaian milik ibunya. "Iya, ma." katanya. "Mama bener nih, nggak mau dianter sampai rumah?"
Ramika mulai bangkit dan meraih tasnya, tepat ketika dia mendengar suara mobil taksi berhenti di depan rumah. Itu pasti taksi yang ia pesan setengah jam lalu melalui aplikasi online.
"Nggak usah, kalian mau langsung ke sekolah, kan? Udah berangkat aja."
"Sebenernya kita nggak keberatan kalau harus nganter mama dulu, habis itu baru jalan ke sekolah." Galant ikut bangkit, hendak mengantar ibu mertuanya itu sampai ke depan.
Namun, reaksi yang Ramika berikan justru sedikit membuat Galant tak nyaman. "Mama bukannya nggak mau, Gal.. tapi kamu kan mau nganterin adikmu dulu, kalau ditambah nganter mama juga, nanti kalian telat banget ke sekolah. Yah, mama mah tau diri aja. Nggak mau ngrepotin."
Karel hampir tersedak saat mendengar kalimat itu. Buru-buru dia meletakkan gelas susunya, lalu berpura-pura sibuk dengan tas sekolah yang ia letakkan di kursi sebelahnya. Dia tahu, kalimat Ramika ditujukan untuknya. Terdengar jelas melalui nada bicaranya yang menajam dan tatapan matanya yang terkesan merendahkan. Karel jadi tidak nyaman. Benar-benar tidak nyaman.
Semenjak jatuh sakit beberapa hari lalu, Galant memang kembali memperketat pengawasan terhadap dirinya. Kembali menyempatkan diri mengantarnya ke sekolah dan mewanti-wanti agar ia pulang tepat waktu. Karel senang, tentu saja. Tapi di satu sisi, dia sering kali merasa tertekan oleh Ramika. Wanita itu tampak tidak suka dan Karel jelas menyadarinya.
Galant sendiri memilih tidak menanggapi ucapan wanita itu. Dia meraih jaketnya, kemudian berjalan mengikuti Agnes dan Ramika keluar. Disusul Karel yang melangkah perlahan di belakang.
"Sekali-kali gantian dong kalian nginep rumah mama. Masa tiap main cuma sebentar doang, habis itu pulang. Kan mama masih kangen."
"Kapan-kapan ya, ma. Janji deh." jawab Agnes setelah mereka tiba di teras rumah.
Ramika tersenyum, kemudian memeluk Agnes erat, setelah itu dia beralih pada Galant dan membisikkan sesuatu tepat di samping telinga lelaki itu.
"Inget ya, keluarga kamu sekarang nomer satu. Prioritasin kehidupan kalian dulu sebelum kamu mikirin orang lain."
Wajah Galant menegang saat kalimat itu ia dengar. Tapi hanya sebentar, sebelum dia memutuskan untuk membalas ucapan wanita itu dengan suara yang sangat pelan.
"Dia bukan orang lain, ma." bisiknya. Kemudian dia menarik diri dari dekapan Ramika dan menyalami tangannya sopan.
"Jaga kesehatan, ma. Jangan capek-capek."
KAMU SEDANG MEMBACA
KAREL
Teen FictionBagi Karel, Galant adalah pahlawannya. Malaikatnya. Alasan dia untuk tetap bernapas di dunia. Sedang bagi Galant, Karel adalah hidupnya. Detak jantungnya. Segalanya.