Pagi itu kembali bisu tanpa hangat obrolan yang biasa mengisi. Dua orang penghuni tempat itu seakan tenggelam dalam kesibukannya sendiri. Galant, sibuk berkutat di depan api kompor lalu membawa satu per satu hidangannya ke meja makan dengan senyum riang. Berbanding terbalik dengan si bocah jelmaan setan yang sejak tadi hanya memerhatikan dari balik meja dengan wajah tertekuk sebal.
"Udah, nggak usah cemberut mulu. Bibir lo sampe maju satu meter gitu. Bisa tuh diiket pake karet." Galant membuka lagi suara yang sempat ia tenggelamkan entah kemana. Dia meletakkan sepiring omelet yang baru diangkatnya dari penggorengan tepat ke hadapan Karel yang masih setia memasang wajah masam.
Namun, bukannya lekas mengubah raut mukanya menjadi lebih enak dipandang, Karel justru mencebik kesal dan semakin memajukan bibirnya.
"Bodo amat! Bete gue." katanya dengan nada yang sengaja dibuat sekesal mungkin, lalu diam-diam dia berharap agar Galant merasa bersalah atas keputusannya dan berakhir dengan memberikan apa yang Karel minta. Sayang, aksi ngambek Karel tidak seampuh itu untuk membuat Galant terlena. Sosok itu masih begitu kokoh dengan keputusannya bahkan setelah Karel merajuk dengan berbagai cara.
"Gue mau berangkat kerja lho ini, jangan bikin mood gue rusak gara-gara liat muka asem lo itu, ya!" seru Galant sambil berjalan ke arah sofa dan mengambil tas kerjanya yang tergeletak di sana. Tangannya meraih remot, mematikan televisi yang menyala lalu kembali ke hadapan Karel dan menuang air putih ke dalam gelasnya.
Sementara Karel masih diam di posisinya, mempertahankan aksi ngambek yang entah akan berakhir seperti apa. Tak ingin menyerah, dia kembali mencebik lalu membalas kalimat Galant dengan keluhan yang sama. Dia mau ke sekolah. Titik, nggak pake koma.
"Gue tuh bete di rumah aja seharian, Gal. Gue pengen ke sekolah, ketemu anak-anak, modusin cewek, ngusilin guru, nyari hiburan pokoknya. Gue ogah di rumah cuma ditemenin sama si kembar botak dari Malaysia yang dari dulu nggak lulus lulus TK. Please, bolehin gue ke sekolah, ya?"
Karel sampai mengatupkan kedua tangannya dan memasang wajah termelas yang ia punya. Namun, Galant tetaplah Galant yang tak akan goyah meski dipaksa sedemikian rupa. Pria itu meneguk airnya lalu kembali menatap Karel lekat.
Secercah asa sempat terbit dalam hati Karel saat melihat Galant menarik kedua ujung bibirnya. Wajah pria itu tak lagi garang dan tatapannya tak setajam sebelumnya. Sontak saja Karel mengurai wajah nelangsa yang ia punya lalu tersenyum penuh makna.
"Boleh, ya? Boleh, kan? Fix, boleh pasti mah." Mata jernih Karel berbinar seperti baru mendapat jackpot ratusan juta. Sayang, di detik selanjutnya, jawaban sang kakak mematahkan semua.
"Nggak!"
Asa yang sempat terbit seketika pupus begitu saja dan wajah yang sempat bercahaya itu kembali kehilangan rona. Karel berdecak keras, berbanding terbalik dengan Galant yang justru tersenyum puas. Saking kesalnya, Karel sampai merapal dalam hati agar kakaknya diberi azab detik itu juga.
"Nggak asik banget lo! Bodo, pokoknya gue ngambek."
"Ngambek kok bilang-bilang."
"Ya biar lo tau."
Galant berbalik menuju dapur, membereskan peralatan bekas ia memasak, membiarkan Karel mendumal sendiri dari tempatnya.
"Udah sih, ngapain ngambek-ngambek segala? Kaya bocah aja lo. Lo tuh baru sembuh, bed rest dulu di rumah kenapa sih? Nggak denger Rega kemaren bilang apa? Kurang jelas wejangan dia yang panjangnya udah mirip rel kereta? Perlu gue telepon Rega buat suruh dia ngulang semuanya?" Galant memberi gestur seolah dia benar-benar serius akan mengubungi sahabatnya di seberang sana, tanpa peduli decakan adiknya yang semakin keras mengusik telinga.
KAMU SEDANG MEMBACA
KAREL
Teen FictionBagi Karel, Galant adalah pahlawannya. Malaikatnya. Alasan dia untuk tetap bernapas di dunia. Sedang bagi Galant, Karel adalah hidupnya. Detak jantungnya. Segalanya.