Karel diperbolehkan pulang tiga hari kemudian setelah dokter memastikan kondisinya benar-benar sudah cukup baik. Pukul sembilan pagi, dengan baju pasien yang sudah diganti dengan pakaian biasa miliknya, Karel duduk di atas ranjang, sembari memerhatikan Galant yang daritadi sibuk menghindari adu pandang dengannya.
Lelaki itu seperti sengaja menyibukkan diri dengan melakukan hal-hal yang tidak berguna. Seperti mengelap meja samping brankar yang sebetulnya sudah mengkilap, atau melipat ulang baju-bajunya yang sudah tertata rapi di dalam tas. Galant terlihat seperti orang kurang kerjaan dan Karel benar-benar kesal. Karena Karel tahu, ada yang sedang lelaki itu sembunyikan. Ada sesuatu yang sedang mati-matian ia tahan, dan menjadi tidak jelas seperti itu adalah salah satu caranya agar apa yang ia sembunyikan tidak ketahuan.
Tapi.. haruskah dengan menghindar?
Karel menghela napas panjang, masih sambil mengekori setiap pergerakan Galant. Karel terlalu mengenal Galant, setiap detail raut muka yang lelaki itu perlihatkan, juga caranya melakukan pergerakan. Karel bisa melihat jelas bahwa saat ini, ada hal yang sedang lelaki itu pikirkan. Hal yang sengaja ia sembunyikan. Sialnya, Karel tahu betul apa yang ada di pikiran Galant.
Hari ini adalah hari dimana ia diperbolehkan pulang. Sekaligus hari dimana Karel harus menentukan kemana ia akan pulang. Karel tahu Galant pasti menunggu keputusannya dan jika boleh Karel menebak, lelaki itu mungkin sedikit gusar. Takut ditinggalkan. Hal itu pula yang mungkin jadi alasan kenapa dari tadi Galant terus menghindar.
"Gal," Karel mencoba menarik perhatian lelaki itu. Tapi ternyata Galant hanya menoleh sekilas dan kembali menyibukkan diri dengan melipat ulang baju-baju miliknya.
Karel jelas tidak menyerah begitu saja. Sekali lagi dia menghela napas keras, sebelum kembali membuka suara. "Gue udah mikirin tawaran papa waktu itu."
Kali ini Galant berhenti, terdiam sejenak, kemudian melanjutkan lagi kesibukannya.
"Jadi, apa keputusan lo?" Galant sama sekali tidak menoleh ke arah Karel saat pertanyaan itu terlontar. Pandangannya mengarah lurus pada apa yang tangannya kerjakan. Galant bukannya enggan, dia hanya terlalu takut menatap Karel sekarang.
Galant punya firasat yang begitu kuat kalau Karel akan meninggalkannya. Jadi sebisa mungkin dia berusaha mempersiapkan hatinya sejak awal. Mencoba tidak terjebak dalam sepasang mata kelam itu. Karena jika firasatnya terbukti benar dan Galant tetap memaksakan diri menatap mata itu sekarang, dia ragu bisa melepas Karel pergi dengan perasaan ringan. Galant takut, perasaannya justru berontak dan dia tidak bisa merelakan anak itu pergi bersama papa. Padahal dia sudah berjanji untuk menerima apapun pilihan Karel. Bahkan jika pilihan anak itu menyakitinya.
"Lo bakal terima apapun keputusan gue, kan?"
Lagi-lagi gerakan Galant terhenti. Tapi hanya sebentar, sebelum dia bisa kembali mengendalikan diri.
"Selama menurut lo itu yang terbaik, gue pasti terima." jawab Galant. Kali ini dia mengatakannya dengan tulus. Sungguh, dia ingin Karel bahagia. Dan salah satu cara untuk membuat anak itu bahagia adalah dengan menerima apapun keputusannya.
Galant menarik resleting tasnya kemudian beralih pada Karel. Untuk pertama kali sejak tadi pagi, Galant akhirnya berani menatap mata itu. Setelah susah payah membunuh ketakutan yang dari awal menghantui.
"Jadi, keputusan lo?" tanya Galant lagi. Dia bisa melihat sedikit keraguan di wajah Karel sebelum anak itu kembali bersuara. Satu hal yang jelas membuat perasaan Galant makin tak tenang saja.
Firasatnya semakin kuat. Karel akan benar-benar meninggalkannya.
"Tunggu papa dulu deh."
Meski berat, Galant mengangguk. Matanya mengamati Karel sejenak, berusaha merekam sebanyak yang bisa otaknya ingat. Mata gelap itu, juga detail wajah yang kurang lebih mirip dengan miliknya. Ah, tiba-tiba Galant kembali merasa berat. Memikirkan akan berpisah jauh dengan anak itu saja sudah membuatnya resah. Mereka sudah enambelas tahun hidup bersama, dan selama itu Galant tidak pernah terpisah jauh dari Karel. Lalu tiba-tiba sekarang jarak harus membentang di antara keduanya. Jarak yang memisahkan. Jarak yang akan membuat mereka saling merindukan. Jarak yang mungkin akan menyulitkan mereka bertemu di masa depan. Bagaimana Galant bisa tetap tenang?
KAMU SEDANG MEMBACA
KAREL
Teen FictionBagi Karel, Galant adalah pahlawannya. Malaikatnya. Alasan dia untuk tetap bernapas di dunia. Sedang bagi Galant, Karel adalah hidupnya. Detak jantungnya. Segalanya.