Kisah (4)

6.4K 817 365
                                    

Karel tidak tahu apa yang terjadi, tapi sejak malam itu, dia benar-benar merasa asing dengan rumah yang sekarang ia tinggali. Agnes, wanita itu sedikit berbeda di mata Karel. Tidak banyak, tapi Karel merasakan dengan jelas. Seperti ada jarak yang memisah mereka, tidak seperti sebelumnya dimana ia dan Agnes nyaris tak memiliki batas apa-apa untuk saling bercerita dan bertukar tawa.

Setiap Galant belum pulang atau sedang keluar sebentar dan di rumah itu hanya tersisa dirinya dan Agnes saja, wanita itu akan lebih memilih tinggal di kamarnya. Atau memasak di dapur. Atau mengerjakan apapun, asal tidak di depan Karel. Wanita itu seperti sengaja menghindar, dan Karel jelas mempertanyakan. Apa dia membuat kesalahan?

Siang itu, Karel sedang duduk di ruang tengah, sambil bertukar pesan dengan Elang dan beberapa teman sekelasnya yang membicarakan tentang tugas. Saat tiba-tiba dia melihat Agnes keluar dari kamarnya dan berlalu menuju dapur. Karel meletakkan ponselnya, tepat ketika wanita itu kembali dengan segelas air putih di tangan, kemudian berjalan menuju meja di sudut ruangan. Dia duduk di sana dengan buku majalah yang terbuka, juga beberapa jurnal tebal yang Karel tidak pernah tahu apa isinya.

Karel memerhatikan wanita itu sejenak, sebelum akhirnya memutuskan untuk membuka kata lebih dulu. Dia tahu, ada yang salah, dan jika memang benar dirinya yang bersalah, dia harus mengetahui dimana letak kesalahannya.

"Kak, lagi apa?" tanya Karel. Wanita itu meliriknya sekilas, lalu kembali menyibukkan diri dengan majalah di depannya.

"Lihat-lihat majalah aja. Kenapa?"

"Nggak papa. Kakak udah makan?"

"Udah. Kamu udah?" Agnes memang bertanya, tapi perhatiannya sama sekali tidak tertuju pada Karel. Suaranya bahkan terdengar datar, sama sekali tidak Karel temukan ketulusan.

Jadi, daripada menjawab pertanyaan Agnes, Karel lebih memilih untuk mengutarakan keganjilan yang sejak awal dia rasakan. "Kak, aku.. bikin salah, ya?"

Detik itu, Karel melihat Agnes berhenti dari kesibukannya. Matanya beralih, memandang Karel yang memberinya tatapan penuh tanya. Sebentar Agnes diam, mencoba mengendalikan perasaan tak wajar yang belakangan datang. Agnes tahu, seharusnya dia tidak boleh begini.

"Kenapa nanya gitu?"

"Kakak aneh belakangan ini."

"Anehnya?"

"Ya aneh aja. Contohnya sekarang ini. Kak Agnes biasanya nggak pernah duduk jauh-jauh dari aku. Tapi sekarang, kalau nggak aku nyapa duluan, kakak bahkan nggak ngelirik aku sama sekali."

Lagi-lagi Agnes diam, tidak menyangka anak itu akan sepeka ini terhadap keadaan. Ah, benar. Galant pernah bilang, Karel itu sangat perasa dan sepertinya Agnes baru saja melupakannya.

Wanita itu memutuskan untuk menutup majalah yang semula ia baca, kemudian beralih menatap Karel, tersenyum pada anak itu. Hanya sebentar, sebelum dia bangkit dari duduknya sembari berujar.

"Perasaan kamu aja, Rel. Kakak biasa aja kok. Oh iya, HP kakak di kamar deh kayaknya, kakak ambil dulu, ya."

Karel tidak menjawab, dia justru semakin bungkam, yakin bahwa dugaannya memang benar. Agnes tidak seperti biasanya, terlihat jelas dari bagaimana cara wanita itu menghindari obrolan dengannya.

Karel baru saja akan menahan langkah Agnes, saat suara ketukan pintu menggema, membuat perhatian keduanya teralih ke sana. Karel menghela napas dan seketika mengurungkan niatnya untuk bicara. Sementara Agnes berbalik cepat, bergegas menuju pintu rumahnya.

Samar, Karel bisa menangkap suara ribut-ribut di luar, lalu tawa Agnes terdengar disusul suara orang lainnya. Suara yang Karel kenal. Hingga beberapa detik kemudian, sosok Agnes kembali tertangkap penglihatan, melangkah ke dalam dengan seseorang di sisinya. Seorang wanita setengah baya yang Karel kenal sebagai ibu mertua kakaknya.

KARELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang