Galant itu segalanya bagi Karel. Tempat dia menggantungkan hidup sejak kecil. Galant adalah kekuatannya, jadi saat lelaki itu berpikir bahwa Karel menganggap hadirnya tak berharga, bahwa kehadirannya tidak pernah berarti di matanya, Karel benar-benar merasa terluka. Bagaimana Galant bisa berpikir seperti itu di saat Karel bahkan selalu menggantungkan hidup pada sosoknya?
Tapi Karel juga tahu, Galant terluka karena dirinya. Galant jadi berpikir seperti itu karena kesalahannya. Kalau saja dari awal dia memilih untuk menolak ajakan Elang, semua pasti masih baik-baik saja. Galant tidak akan marah dan dia tidak akan merasa sendirian seperti sekarang gara-gara lelaki itu mendiaminya semalaman. Karel menyesal. Dan perasaan itu kembali membawanya pada malam panjang yang tidak tenang.
Karel tidak bisa memejamkan mata barang sebentar. Perasaan bersalahnya pada Galant ditambah rasa nyeri menyakitkan di perutnya benar-benar menyiksa. Biasanya, Galant selalu ada di sana, mengusap kepalanya, memeluknya, sambil mengatakan berbagai kalimat penenang yang lama-lama membuat ia merasa nyaman kemudian terpejam. Tapi kali ini, Karel harus melewati malam menyakitkannya sendirian. Tanpa sentuhan hangat tangan Galant. Tanpa dekapan erat lelaki itu. Tanpa ditemani suaranya yang terdengar menenangkan. Karel benar-benar sendirian, dan ia akhirnya sadar, betapa sulit menjalani hidup seorang diri tanpa Galant.
Hingga paginya, saat matahari bahkan belum sepenuhnya muncul, Karel beranjak dari ranjang, berjalan pelan keluar dari kamar sambil sesekali berpegangan pada meja dan dinding di sekitarnya. Susah payah dia mencapai pintu kamar Galant yang masih tertutup rapat dan terkunci dari dalam. Karel meringis, lalu menarik kembali tangannya yang semula sudah menggenggam handle pintu. Dia menggigit bibir sejenak, sebelum akhirnya memberanikan diri bersuara.
"Gal, udah bangun?"
Tidak ada jawaban. Tapi Karel tahu, kakaknya pasti sudah terjaga di dalam sana. Galant tidak pernah bangun lebih dari jam lima pagi, dan sekarang sudah hampir setengah enam. Entah apa yang lelaki itu kerjakan di dalam, tapi Karel yakin sekali dia sudah bangun, mungkin sudah dari satu jam yang lalu.
"Gue hari ini nggak ke sekolah, boleh?"
Masih tidak ada jawaban. Karel menundukkan kepalanya, kembali meremat bajunya kuat-kuat.
"Gal, anterin gue ke rumah sakit."
Biasanya, Karel tidak pernah seperti ini. Sesakit apapun, jika masih bisa ditahannya, dia tidak pernah satu kalipun memohon pada Galant untuk membawanya ke hadapan Rega. Bahkan jika lelaki itu memaksa, Karel selalu berusaha menolak seandainya rasa sakit itu masih bisa dia tahan dengan menelan obatnya. Tapi kali ini berbeda. Karel sudah berkali-kali menelan perada rasa sakit yang diberikan Rega padanya, tapi nyeri itu tak kunjung mereda.
Karel kembali menundukkan kepalanya dalam-dalam, menghela napas panjang saat kalimatnya lagi-lagi tidak mendapat balasan. Sejenak dia memejam, mencoba menguatkan dirinya untuk kembali memanggil nama itu pelan.
"Gal, gue mau ke Rega."
Sama. Hanya haning yang menyambutnya. Karel menyerah, dia mengangkat wajah dan menatap daun pintu itu sendu, kemudian berbalik menuju kamarnya dengan perasaan kecewa.
Galant benar-benar marah padanya. Galant tidak mau bicara padanya. Galant sudah tidak peduli lagi padanya.
Karel menutup pintu kamar dan menyandarkan punggungnya di sana, mengembuskan napas panjang kemudian memejam. Tidak ada yang bisa dia lakukan sekarang selain bersiap pergi ke sekolah, sambil diam-diam merapal agar rasa sakitnya segera menghilang.
Tanpa ia tahu, di sudut lain rumah itu, Galant, sedang berkutat di bawah shower ditemani musik yang mengalun pelan dari ponselnya yang ia letakkan di luar kamar mandi, membiarkannya melebur bersama gemuruh air yang mengguyur kepalanya. Meredam seluruh bunyi yang berasal dari luar sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
KAREL
Teen FictionBagi Karel, Galant adalah pahlawannya. Malaikatnya. Alasan dia untuk tetap bernapas di dunia. Sedang bagi Galant, Karel adalah hidupnya. Detak jantungnya. Segalanya.