Siang itu, Karel kehilangan napsu makan. Dia hanya duduk diam di sudut kantin dengan sebotol air mineral di hadapan, tanpa teman. Elang, yang biasanya selalu ada bersamanya saat jam makan siang tiba, kali ini pun tidak menampakkan batang hidungnya. Akhir-akhir ini anak itu sedang senang sekali bermain bersama anggota klub musik sekolah dan mungkin kali ini pun sama. Jiwa seni yang mengalir dalam diri cowok itu memang tidak bisa dibantah bagaimanapun caranya. Elang mencintai musik, lebih dari apapun di dunia. Jadi, sebagai teman yang baik, Karel berusaha memaklumi ketika anak itu mulai kembali mendekatkan diri pada dunia yang dicintainya.
Karel sebenarnya kesepian, tapi di satu sisi dia juga merasa diuntungkan. Elang itu berisik, dan Karel benar-benar sedang tidak ingin banyak diusik sekarang. Dia ingin ketenangan, setidaknya, sendiri membuatnya merasa lebih nyaman.
Karel baru saja merebahkan kepalanya di meja, saat dia mendengar kursi di depannya berderit lalu bunyi mangkuk dan gelas yang diletakkan di atas meja menyentaknya. Karel refleks mengangkat kepala hingga matanya menangkap keberadaan Danish di sana. Dia mendengkus, tidak senang dengan kedatangan anak itu.
"Ngapain, sih?" tanyanya ketus. Karel sedang tidak ingin diganggu dan kehadiran Danish di sana benar-benar menganggu.
"Duduk. Nggak liat?" jawab Danish tak kalah ketus.
"Kenapa harus di sini? Bangku lain kan bisa, banyak tuh yang kosong."
"Ya terserah gue lah. Kok lo ngatur?"
Sekali lagi, Karel mendengkus keras. Bicara dengan Danish tidak pernah berakhir baik dan Karel sedang tidak ingin menangapinya sekarang. Dia beralih, kembali merebahkan kepalanya di meja, mencoba mengabaikan keberadaan Danish di depannya.
"Jangan ganggu. Gue lagi nggak mood." katanya.
Danish hanya melirik anak itu sekilas, memerhatikan bagaimana dia bersikap. Keningnya mengerut dalam, menyadari ada yang tidak beres dengan Karel karena tiba-tiba saja anak itu menjadi begitu tak acuh dengan sekitar. Biasanya, Karel akan mengomel panjang saat ia dekati. Biasanya, anak itu akan langsung mengusirnya pergi. Tapi kali ini dia hanya diam saja dan memilih tidak peduli.
Danish sebenarnya penasaran, namun dia juga tidak ingin terlalu memperlihatkan rasa ingin tahunya pada anak itu. Dia lantas mengangkat bahu tak acuh dan mulai menyendok soto pesanannya dengan lahap. Dia makan dengan tenang, sambil sesekali memerhatikan Karel yang betah sekali membungkam. Awalnya Danish bisa bersikap biasa, tapi lama-lama dia jengah juga.
Jadi, tepat setelah dia berhasil menelan suapan ke-sepuluhnya, dia nekad saja melontarkan pertanyaannya.
"Kenapa lo?"
Ditanya begitu, Karel mengangkat wajahnya cepat dan dalam sekejap posisi tubuhnya berubah tegak. Matanya menatap lekat Danish yang kembali asyik mengunyah soto. Sejujurnya, Karel memang butuh tempat untuk bicara. Dia butuh seseorang untuk ia tumpahi keluh kesahnya. Jadi, ketika tiba-tiba Danish menariknya untuk bicara, sesuatu dalam diri Karel pun seperti terpacu untuk menyampaikan apa yang ia rasa.
"Kak Agnes hamil." ucapnya pelan.
Danish balas menatap Karel, tapi anak itu tampak tidak terkejut sama sekali mendengar apa yang Karel sampaikan. Dia tetap melanjutkan menyendok kuah sotonya lalu dengan ringan kembali bertanya.
"Terus?"
"Lo nggak kaget gitu?"
"Kaget kenapa?
"Ini berita besar lho. Masa reaksi lo gitu doang, sih?"
"Lah, gue kudu gimana emang? Naik ke atas meja sambil teriak ke semua orang, ngasih tau kalau bentar lagi abang kesayangan lo mau punya momongan? Lebay!"
KAMU SEDANG MEMBACA
KAREL
Teen FictionBagi Karel, Galant adalah pahlawannya. Malaikatnya. Alasan dia untuk tetap bernapas di dunia. Sedang bagi Galant, Karel adalah hidupnya. Detak jantungnya. Segalanya.