Siang itu angkasa mendung dengan mega kelabu yang menggantung. Secepat itu semesta murung, padahal saat Karel memutuskan keluar dari rumah menuju gedung tempat Galant mengajar, biru cerah itu masih membentang. Indah.. namun sekarang segalanya enyah. Menyisakan Karel seorang diri di sisi gerbang dengan bibir bergetar karena dingin yang mulai menyerang.
"Tuh kan, resek! Mau hujan nggak bilang-bilang. Tau gini kan tadi gue bawa payung. Mana si Galant lama banget lagi. Ini pasti pacaran dulu sama bu Agnes nih, yakin gue."
Jengah, Karel mulai mendumal. Sesekali kepalanya melongok ke dalam dan berakhir dengan mendesah kesal. Sang kakak tak juga menunjukkan tanda-tanda akan keluar. Niat awal untuk tak menghubungi Galant agar tak mengusik pekerjaan lelaki itu pun akhirnya buyar. Karel bosan menunggu dan merasa perlu melakukan sesuatu.
Dengan cepat dia merogoh ponsel di saku, namun belum sempat mengetik apapun, bunyi klakson mobil dari depan gerbang membuatnya segera memfokuskan pandangan.
"Karel, kan? Ngapain di situ?"
Sudut bibir Karel terangkat saat netranya berhasil mengenali si pemilik suara. Seorang perempuan muda seumuran kakaknya. Cantik, rambutnya panjang, pipinya kemerahan dan sedikit kelebihan pengembang. Tipikal wanita yang selalu Galant dambakan. Sayang, kakaknya itu terlalu pengecut untuk berani menjadikannya pasangan.
"Eh, bu guru. Sore, bu. Ini nih, lagi nunggu kakak tersayang yang tak kunjung datang, takutnya dia lupa pulang karena keasyikan main sama bu guru kesayangan." Senyum di bibir Karel semakin lebar, membuat perempuan di balik kemudi itu turut memasang wajah riang.
"Kamu nggak lagi ngeledek saya, kan?"
"Ah, bu guru mah baperan. Eh tapi kok kayak kesindir gitu ya pas aku bilang 'bu guru kesayangan'? Cie... yang ngerasa ke-notice."
Perempuan itu--Agnes--melontar tawa sambil menggelengkan kepala, berusaha menyamarkan rona yang makin kentara di kedua pipinya. "Kamu tuh, ya.. bercanda aja kerjaannya."
"Oh, jadi bu guru nggak suka dibercandain? Sukanya diseriusin? Oke, nanti aku bilangin Galant."
"Astagaaa.. omonganmu itu lho, dek. Saya nggak ngerti deh gimana caranya kakakmu bisa kuat ngadepin anak kayak kamu."
"Jangan salah, aku ini anak baik dan asik loh, bu. Kalo aku nggak ada di rumah sejam aja kakakku pasti nyariin. Kangen katanya."
Lagi, tawa Agnes pecah setelah Karel menyelesaikan kalimatnya. Mendatangkan kembali hangat yang sebelumnya sempat lenyap tersapu mega kelabu di atas kepala. Karel memang selalu bisa menyamarkan luka dengan sifat jenakanya. Kalau sudah begini, topengnya sempurna. Sakit yang dia pendam tak akan dapat terbaca.
"Terserah, deh. Kamu masuk aja sana, nunggu di dalem. Kakakmu tadi lagi beresin berkas, paling bentar lagi keluar."
"Nggak apa-apa aku nunggu sini aja. Kalo aku masuk yang ada murid-murid sini kesaing kece nya sama aku. Aku nggak mau bikin mereka minder aja, sih."
Kali ini Agnes benar-benar tak mampu membendung tawa. Bocah lelaki di depannya itu sukses membuatnya lupa pada penat yang membekap setelah seharian berkutat dengan rumitnya rumus matematika.
"Aduh.. kelamaan ngobrol sama kamu bisa geser ini otak saya. Udah ya, saya duluan aja." Agnes menyudahi obrolan sambil membetulkan letak seatbelt-nya. Sekali lagi menoleh ke arah Karel dan tersenyum sambil melambaikan tangan. Cowok itu pun membalas santai dengan tampang tak berdosa.
"Hati-hati di jalan, bu. Patuhi rambu dan jangan ngebut!"
"Siap, pak polisi!"
Kemudian mobil bergerak maju seiring kaca yang perlahan menutup. Karel menghela napas setelah sedan hitam itu lenyap tertelan jarak. Memundurkan badan ke tembok sisi gerbang sambil menggosok-gosokkan telapak tangan. Lima menit berselang, deru mobil yang amat familiar tertangkap pendengaran, membuatnya segera menegakkan badan. Tanpa kata, dia menghadang laju mobil Galant dan langsung menghambur ke dalam saat sang kakak yang duduk di balik kemudi menekan klakson kuat-kuat.
KAMU SEDANG MEMBACA
KAREL
Teen FictionBagi Karel, Galant adalah pahlawannya. Malaikatnya. Alasan dia untuk tetap bernapas di dunia. Sedang bagi Galant, Karel adalah hidupnya. Detak jantungnya. Segalanya.