Galant baru keluar dari tempat fotokopi siang itu. Sembari meneliti berkas-berkas di tangannya, dia melangkah keluar sambil sesekali mengangkat pandangan, memastikan tidak ada orang atau apapun yang akan ia tabrak di depan. Namun sial, saat ia baru saja kembali menunduk menghitung lembaran kertas di tangannya, dia merasakan tubuhnya berbenturan cukup keras dengan seseorang hingga kertas-kertas itu jatuh begitu saja.
"Maaf, maaf." refleks Galant. Dia buru-buru berjongkok untuk memunguti berkas-berkasnya yang tercecer, tanpa lebih dulu memerhatikan orang yang menabraknya barusan.
"Saya yang minta maaf." ucap orang itu. Dengan cepat dia ikut berjongkok dan membantu Galant memberesi berkasnya, sampai beberapa detik kemudian Galant sadar kalau sosok di depannya itu cukup familiar.
Sebagian wajahnya terhalang topi, tapi aroma itu begitu menyengat, menusuk penciuman. Aroma yang sepertinya Galant kenal.
"Mas Juan?" panggil Galant begitu berhasil mengenali sosok itu setelah mengamati selama beberapa saat.
Pria itu lantas mendongak hingga wajahnya yang semula terhalang topi kini bisa Galant lihat dengan jelas. Mata teduh itu, juga garis senyumnya yang terlihat ramah. Benar. Itu Juan. Orang yang beberapa waktu lalu sempat menawarinya untuk berteman.
"Eh, mas Galant, ya? Aduh maaf banget mas, saya nggak sengaja. Jadi berantakan gini berkasnya." Pria itu tampak gusar sendiri, padahal di sini posisinya Galant yang bersalah karena kurang hati-hati.
Galant menggeleng, kemudian mempercepat gerakannya merapikan lembaran kertas yang masih tercecer dan menumpuknya dengan yang lain. "Saya yang salah, kok. Harusnya lebih hati-hati di tempat umum."
Juan menyerahkan beberapa lembar berkas yang berhasil ia kumpulkan kepada Galant, kemudian keduanya berdiri dan saling melempar senyum satu sama lain. Senyum Juan masih sama tulusnya dengan yang terakhir Galant lihat saat mereka duduk minum kopi bersama. Binar matanya juga masih dipenuhi warna. Di bawah terangnya sinar matahari siang ini, mata itu bahkan terlihat jauh lebih bernyawa.
Sejak pertama kali bertemu dengan pria itu, Galant tahu Juan memang sosok yang sangat tulus dan ramah. Benar-benar tipe orang yang bisa membuat siapapun merasa betah.
"Kebetulan banget ya kita ketemu di sini. Mas Galant apa kabar?" Satu hal lagi, Juan itu pintar merangkai kata menjadi obrolan. Piawai mencari topik untuk kemudian diangkat menjadi perbincangan panjang. Yang dia tanyakan itu hal-hal wajar, tapi tidak pernah terkesan seperti basa-basi murahan.
"Baik. Mas Juan mau fotokopi juga?"
"Ah, enggak. Kebetulan lagi ada perlu sama teman yang kerja di sana. Mau ketemu sebentar."
"Oh gitu." Galant bergumam pelan. Sebetulnya dia masih ingin berbincang lebih lama dengan Juan, bertukar cerita, sambil duduk santai menikmati secangkir kopi seperti waktu itu. Tapi detik itu juga dia ingat, masih ada pekerjaan yang harus dia selesaikan di sekolah. Karenanya Galant buru-buru beralih, berniat menyudahi obrolan singkat mereka siang ini.
"Saya sebenernya masih pengin ngobrol, tapi sekarang harus balik dulu ke sekolah. Ini berkasnya udah ditungguin banget soalnya. Mungkin lain waktu kali, ya."
Senyum pria itu kembali mengembang. Kedua matanya bahkan sampai menyipit membentuk garis saat ujung-ujung bibirnya tertarik ke atas. "Anytime. Kalau masih ada kesempatan."
Galant sedikit merasa ganjil dengan jawaban Juan, senyumnya sempat pudar selama beberapa detik, tapi kemudian dia memilih untuk menepis pikirannya sendiri dan mencoba tidak peduli. Mungkin hanya perasaannya saja. Galant lantas melirik jamnya dan kembali memandang Juan yang sejak awal sama sekali tidak memudarkan senyuman. Dengan sedikit sungkan, dia kembali berpamitan.
KAMU SEDANG MEMBACA
KAREL
Teen FictionBagi Karel, Galant adalah pahlawannya. Malaikatnya. Alasan dia untuk tetap bernapas di dunia. Sedang bagi Galant, Karel adalah hidupnya. Detak jantungnya. Segalanya.