Detik jarum jam menyeruak di tengah keheningan, menjadi satu-satunya melodi sumbang yang mengisi temaram. Sementara di luar, gerimis berjatuhan, menghantar sejuk yang seolah meredam segala kegelisahan.
Galant duduk diam di kursi samping brankar. Mata sayunya tertuju pada sepasang mata lain yang sudah tiga hari tidak menampilkan binar. Pejamnya lelap sekali, sampai dia terlihat begitu nyaman. Rega bilang, Karel sedang ada di titik terendahnya dan membutuhkan waktu lebih panjang untuk beristirahat. Karel lelah dan Galant hanya diminta untuk sedikit bersabar. Karel butuh dukungan, maka Galant harus ada di sana untuk memberi kekuatan.
Tangan Galant terjulur perlahan, menyentuh jemari adiknya lalu menggenggamnya erat. Berusaha membagi hangat yang dia punya untuk adiknya, sambil diam-diam berharap agar sosok itu mampu menangkap hadirnya. Galant ingin Karel tahu kalau di sini ada sosok yang selalu menunggunya terjaga. Ada hati yang begitu bergantung padanya. Ada kehidupan yang hanya akan berputar jika dirinya membuka mata.
Galant butuh adiknya.
"Udah tiga hari, Rel. Lo nggak capek?" Suara Galant terdengar begitu pelan, seolah kekuatannya ikut tenggelam bersama sang adik yang asyik merajut mimpi dalam tidur panjang. Tatapannya hampa sementara sudut matanya masih menampilkan sisa-sisa duka.
Dia merapatkan jemari kecil Karel dalam genggamannya, merematnya erat, seolah tidak ingin membiarkannya terlepas. Seolah jika tautan itu merenggang, sosok di sana juga akan hilang. Galant menarik napas panjang, berusaha menghalau sesak yang menikamnya dalam diam.
"Gue udah nggak marah, lo nggak perlu takut. Bangun, ya. Gue pengen ngomong,"
Dari dulu, Galant selalu membantah semua orang yang beranggapan bahwa Karel bergantung padanya. Karel tidak bisa melakukan apapun tanpanya. Karena kenyataannya, semua yang mereka pikirkan adalah kebalikan dari apa yang Galant rasa. Bukan Karel, melainkan dirinya. Galant yang sangat bergantung pada Karel. Galant yang tidak akan bisa melakukan apapun tanpa Karel. Galant ... yang tidak mempunyai alasan lain untuk bertahan selain Karel.
Kalau dilihat sekilas, Galant memang selalu bisa menjaga ketenangannya, bersikap biasa hingga semua orang berpikir dirinya selalu baik-baik saja. Namun, tidak ada yang tahu bahwa semenjak Rega menyampaikan vonis untuk adiknya, Galant tidak pernah bisa hidup seperti sebelum vonis itu ada.
Bagi Galant, hari itu adalah titik dimana kehancurannya bermula.
Sejak hari itu, bayang rasa takut tak pernah lepas dari benaknya, mengekor kemanapun kakinya berpijak. Mengusik di setiap detik yang dia punya. Galant takut jika sewaktu-waktu Tuhan mengambil satu-satunya alasan yang dia punya untuk terus hidup di dunia. Galant tidak pernah sanggup membayangkan takdir membawa pergi adiknya.
Tidak!
Galant mengerjap untuk menyudahi pikiran liarnya. Pekat irisnya kembali tertuju pada wajah Karel yang tampak begitu damai dengan pejamnya. Tidurnya begitu nyenyak, tapi Galant tidak pernah suka. Dia lebih suka mata itu terbuka, lalu bibir tajamnya mengumpatinya dengan berbagai kata. Merengek ... atau sekadar membalas setiap kalimat yang dia ucapkan. Apapun ... asal Galant bisa tetap mendengar suara itu.
"Gue harus ngapain, Rel? Gue nggak bisa liat lo kaya gini."
Kali ini Galant menunduk dan memejamkan matanya rapat. Genggamannya masih erat, tidak sedikitpun ia biarkan terlepas. Dia membiarkan detik melangkah bebas, menenggelamkannya dalam hening yang menyesakkan, sampai dia merasa ada pergerakan kecil dari jemari dalam genggamannya. Galant tersentak lalu buru-buru mengangkat wajah.
Dia bisa melihat kelopak mata itu bergerak, lalu pelan-pelan terbuka, terpejam kembali hingga akhirnya berhasil terbuka sempurna. Binar di sepasang iris itu tampak nyata, seketika membuat Galant merasa lega luar biasa. Galant merenggangkan genggamannya dan tepat saat kilau cemerlang dari iris itu menyapa netra, kakinya segera bergerak cepat keluar ruangan. Pandangannya menyebar, lalu yang terdengar selanjutnya adalah nama Rega yang berkali-kali ia teriakkan dengan brutal.
KAMU SEDANG MEMBACA
KAREL
Teen FictionBagi Karel, Galant adalah pahlawannya. Malaikatnya. Alasan dia untuk tetap bernapas di dunia. Sedang bagi Galant, Karel adalah hidupnya. Detak jantungnya. Segalanya.