Galant terjaga dari tidurnya tepat tengah malam. Dia sedikit menyibak selimutnya dan melirik jam di meja samping ranjang. Pukul duabelas lebih limabelas menit. Masih belum menyentuh dini hari. Galant mencoba kembali memejamkan mata, tapi bahkan sampai tigapuluh menit berlalu dia belum terlelap juga. Pegal, Galant memilih bangkit lalu turun dari ranjangnya. Tiba-tiba saja dia ingin melihat Karel. Biasanya, kalau tidak bisa tidur, Galant selalu pergi ke kamar anak itu. Berbaring di sisinya, mengusap puncak kepalanya, lalu dia akan mulai mengantuk setelahnya.
Galant mendorong pintu kamar Karel perlahan dan cahaya remang menyambutnya. Dengan hati-hati Galant mendekat ke arah ranjang, mencoba sebisa mungkin agar anak itu tidak terbangun karena suara langkah yang ia timbulkan. Galant tersenyum saat akhirnya berhasil naik ke sisi Karel tanpa membuat anak itu terjaga. Anak itu berbaring menyamping, memunggunginya, terlihat begitu tenang dan damai. Berbanding terbalik ketika ia terjaga. Wajah menyebalkan lengkap dengan kalimat tajam yang sering ia lontarkan itu seolah sengaja dirancang untuk membuat hari-hari Galant semakin keruh saja.
Mata dingin Galant terpaku pada punggung kecil di hadapannya, cukup lama, sampai ia akhirnya menyadari ada yang berbeda. Keningnya mengernyit, berusaha menelaah kembali keadaan yang ada. Tapi semakin lama Galant memandangi punggung itu, ia semakin merasa ada yang tidak beres. Punggung Karel terlihat begitu tenang, benar-benar tenang hingga Galant tidak bisa melihat adanya pergerakan bahkan setelah dia mengamati dengan cermat.
Tidak ada gerakan naik-turun seperti yang biasanya Galant lihat saat anak itu tidur dalam posisi miring. Tidak ada tarikan napas yang terdengar teratur di tengah pelukan hening. Dini hari ini, Karel benar-benar terlihat begitu tenang. Tenang dalam arti yang berbeda. Dan tidak butuh waktu lama sampai Galant merasa kehilangan ritme jantungnya.
Dengan cepat Galant menyentuh pundak Karel, biasanya anak itu mudah sekali terbangun hanya dengan disentuh. Tapi kali ini tidak. Bahkan saat Galant sedikit mengguncang pundaknya dan memanggil nama anak itu lirih, Karel masih tetap diam di posisi yang sama. Tidak bergerak, tidak pula membuka mata. Perasaan Galant makin tak tenang.
"Rel?" panggil Galant.
Karel masih diam, tidak ada pergerakan. Kali ini Galant yakin memang ada yang tidak beres. Dengan cepat dia membalik tubuh anak itu hingga berbaring telentang dan Galant bisa melihat jelas warna merah pekat merembes dari selimut warna coklat madu yang anak itu kenakan. Mata Galant terbuka lebar sementara jantungnya bekerja semakin brutal. Dia lalu menyibak selimut Karel dengan kasar dan seketika aroma amis menguar, memenuhi penciuman. Detik itu, dunia Galant rasanya seperti berhenti berputar. Dingin menerjang, udara di sekitar pun tidak bisa lagi ia hirup dengan benar.
Tubuh Galant kaku, lidahnya kelu, saat matanya menangkap sebilah belati yang sudah berlumuran darah menancap di perut bagian kiri Karel. Terlihat begitu dalam dan menyakitkan. Beberapa detik mata Galant hanya terkunci di sana, dia diam, membiarkan rasa sakit itu meremas dadanya. Sampai ia akhirnya sadar dan buru-buru mengguncang tubuh anak itu kencang.
"Rel, bangun! Karel! Bangsat lo!"
Galant hampir gila. Dia berteriak seperti orang kesetanan, membiarkan suaranya membelah senyapnya dini hari. Namun bahkan sampai dia mencapai titik dimana suaranya hampir tidak bisa keluar lagi, anak itu masih tidak bereaksi. Dan Galant benar-benar menjadi tidak waras setelahnya. Dia berteriak sambil mendekap tubuh adiknya, lalu semua berubah gelap, Galant tidak bisa melihat apa-apa. Udara juga menjadi lebih dingin dan pengap.
Kemudian, saat Galant membuka mata, pendar menyilaukan dari satu-satunya lampu yang menyala di tempat itu menusuk matanya. Dia mengerjap, menatap langit-langit kelabu di atasnya. Beberapa detik dia diam, berusaha mengatur deru napasnya yang membrutal, berusaha pula menelaah semua keadaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
KAREL
Novela JuvenilBagi Karel, Galant adalah pahlawannya. Malaikatnya. Alasan dia untuk tetap bernapas di dunia. Sedang bagi Galant, Karel adalah hidupnya. Detak jantungnya. Segalanya.