Galant mengerjap cepat begitu matanya menangkap sesuatu yang Juan keluarkan dari dalam saku. Nalurinya untuk menyelamatkan dirinya sendiri jelas muncul, tapi tekad untuk menyelamatkan adiknya dari dalam sana ternyata jauh lebih besar. Karena itu, Galant segera melesat kembali ke depan pintu lalu dengan gerakan yang sangat kuat mendobrak pintu kayu itu.
Dalam usaha ketiga, pintu berhasil terbuka, menimbulkan suara bantingan yang cukup keras. Pekat mata Galant langsung tertuju pada sosok adiknya yang terikat di bangku. Anak itu menatap ke arahnya, matanya yang berlinang beradu dengan miliknya. Ketakutan itu menguar jelas, tapi Galant bisa melihat kelegaan terpancar di baliknya. Galant tahu, adiknya pasti menderita sekali.
Perhatian Galant teralih, ketika dia mendengar tawa sinis Juan menggema di dalam ruang itu. Sudut bibir lelaki itu tertarik sembari menatap Galant dan kekehan pelan mengekor di belakangnya.
"Selamat menjemput kematian, Galant." desisnya. Lalu dia mulai menyalakan pemantiknya. Mata Galant melebar, jantungnya berdebar kencang, sebelum akhirnya dia menghambur cepat ke arah Karel, tepat ketika Juan menjatuhkan pemantiknya, menimbulkan bunyi nyaring di atas lantai.
Galant buru-buru merengkuh adiknya, sebisa mungkin melindungi anak itu dari ledakan dahsyat yang terjadi tepat setelah Juan menjatuhkan pemantik miliknya.
Asap tebal mengisi ruangan, Galant dan Karel terbatuk keras, tapi kemudian mereka sadar, tidak ada luka yang mereka dapatkan. Galant buru-buru menarik diri dan meneliti tubuh adiknya dari atas ke bawah, memastikan benar-benar tidak ada luka yang dia terima. Galant bisa mendesah lega saat tak menemukan apapun di tubuh Karel.
"Lo oke?" tanya Galant. Anak itu hanya mengangguk dengan air mata yang terus keluar. Dengan sigap, Galant melepas kain yang menutup mulut Karel, juga tali yang mengikat tubuhnya. Tapi sedetik kemudian tubuhnya kembali menegang saat melihat api mulai berkobar. Galant panik, tapi sebisa mungkin mencoba untuk tenang. Dia harus selamat, untuk menyelamatkan adiknya. Dia harus bertahan, agar bisa membawa Karel keluar dari sana.
Tali yang mengikat tangan dan kaki Karel hampir terlepas sempurna, dan baru-baru ini Galant menyadari kalau Juan sudah tergeletak lemah di sudut ruangan. Sepertinya tadi lelaki itu berdiri persis di tempat ledakan. Tapi Galant tidak ingin peduli. Dia kembali berpaling, mengabaikan keberadaan Juan, lalu mempercepat gerakannya melepas tali yang melilit kaki Karel. Dia harus cepat, api sudah semakin merambat.
Karel masih menangis, memerhatikan Galant yang berusaha keras membuka ikatannya, sambil sesekali mengedarkan pandangan ke sekitar, menatap nanar kobaran api yang semakin besar. Dadanya sudah sesak sejak tadi dan kepalanya sakit sekali, tapi dia mencoba tetap baik-baik saja hanya agar dirinya dan Galant bisa keluar dari tempat ini.
Hingga beberapa detik setelahnya, Galant berhasil melepas ikatan itu sepenuhnya. Dia kemudian mendongak, menyempatkan diri menghapus jejak air mata di wajah Karel, sebelum akhirnya menuntun anak itu berdiri.
"Nggak papa, kita pasti keluar dari sini. Ada gue, nggak usah takut." Galant berusaha menenangkan Karel, meski dia sendiri sama kalutnya.
Sementara anak itu mengangguk, mempercayai Galant sepenuhnya. Jika lelaki itu sudah bilang mereka akan selamat, maka mereka pasti selamat. Karel tidak pernah meragukan perkataan kakaknya.
Dia berusaha menghentikan tangisnya lalu menggenggam tangan Galant erat-erat. Tidak ingin lagi terpisah dari lelaki itu.
Sementara Galant memutar otak dengan cepat, berusaha menemukan cara untuk keluar selain lewat pintu yang sekarang sudah tertutup kobaran api yang cukup tinggi. Dia meremat tangan Karel dalam genggamannya. Seketika itu pula, keinginan untuk keluar dari tempat ini semakin membara. Bagaimanapun, dia harus membawa Karel keluar, secepatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
KAREL
Teen FictionBagi Karel, Galant adalah pahlawannya. Malaikatnya. Alasan dia untuk tetap bernapas di dunia. Sedang bagi Galant, Karel adalah hidupnya. Detak jantungnya. Segalanya.