Galant menunggu di depan pintu dengan gelisah. Sejak Karel memutus panggilannya secara sepihak tadi, Galant jadi merasa ada sesuatu yang salah antara dirinya dan anak itu. Sesuatu yang sebelumnya tidak Galant sadari. Sesuatu yang mungkin berasal dari dirinya sendiri.
Galant merenung lama, memikirkan bagian mana saja yang luput dari perhatiannya selama ini. Dan Galant baru menyadari, beberapa hari ini, sikap adiknya memang sedikit berubah. Galant tidak lagi sering mendengarnya bercerita, tidak banyak melihatnya tertawa. Saat mereka duduk bersama di hadapan meja makan pun, Karel lebih banyak diam. Tidak akan memulai pembicaraan jika Galant atau Agnes tidak bertanya. Adiknya benar-benar berubah. Tidak! Sepertinya bukan adiknya, tapi... dirinya sendiri.
Angin malam berembus perlahan, sejenak membawa pikiran Galant melayang, menelusuri hari-hari ke belakang. Galant ingat sekali, belakangan ini dia dan Karel banyak kehilangan waktu bersama. Dia jarang menemani Karel duduk di depan televisi setiap malam, jarang menemani anak itu belajar, bahkan, dia hampir tidak pernah lagi datang ke kamar anak itu sekadar untuk mengucapkan selamat malam.
Mungkinkah Karel mengalami kesulitan? Mungkinkah anak itu punya banyak hal untuk diceritakan namun Galant justru tidak pernah memberinya kesempatan untuk merangkai obrolan?
Apa dia sudah keterlaluan?
Galant mengembuskan napas kasar lalu mengusap wajahnya. Mendadak rasa bersalah itu datang, menikamnya secara perlahan. Apa yang sudah ia lakukan? Kenapa dia jadi begini sekarang? Seletih apapun dia, sesibuk apapun dia dengan urusannya, seharusnya dia tidak boleh mengabaikan adiknya begitu saja.
Sebentar Galant memejam sembari menyandarkan tubuhnya pada pilar, sampai telinganya bisa menangkap suara langkah kaki datang dari kejauhan. Buru-buru dia membuka mata dan menatap ke depan. Karel, berjalan perlahan menghampirinya, dengan penampilan yang sama sekali sudah tidak rapi dan tatapan mata yang tidak bisa Galant baca malam ini.
Sudah sejauh apa keadaan berubah? Kenapa sekarang Galant merasa tidak tahu apa-apa tentang adiknya?
Dia menunggu anak itu mendekat, dan saat Karel benar-benar sudah berada di hadapannya, Galant tidak ingin membuang waktu lebih lama untuk melontarkan pertanyaannya. Namun, berbeda dengan tadi, kali ini Galant lebih bisa mengendalikan diri. Tidak ingin lagi terbakar emosi.
"Darimana aja, sih? Jam segini baru pulang, masih pake seragam lagi. Lo nggak tau gimana bahayanya anak seusia lo main di luar sampai jam segini?"
"Gue nggak main, kok."
"Terus?"
Karel tidak menjawab. Dia justru berpaling, tidak ingin beradu pandang dengan Galant. Entah mengapa, melihat Galant berdiri di depannya dengan tatapan seperti itu, Karel jadi merasa egois. Dia ingin memiliki lelaki itu sepenuhnya, padahal ia tahu, keadaan tak lagi sama. Kakaknya sudah berkeluarga, tidak seharusnya Karel menjadi kekanakan dengan mengharapkan perhatian penuh lelaki itu untuknya.
Sementara Galant diam sebentar, berusaha membaca raut muka Karel. Sampai akhirnya dia maju, meletakkan kedua tangannya di pundak anak itu, memaksa Karel kembali menatapnya.
"Lo oke?"
Ada jeda beberapa saat yang Karel ciptakan. Matanya menatap Galant dalam, berusaha mencari kehangatan yang dulu selalu ia temukan di sana. Ketika ia berhasil menemukannya, dia buru-buru menggelengkan kepalanya pelan.
KAMU SEDANG MEMBACA
KAREL
Teen FictionBagi Karel, Galant adalah pahlawannya. Malaikatnya. Alasan dia untuk tetap bernapas di dunia. Sedang bagi Galant, Karel adalah hidupnya. Detak jantungnya. Segalanya.