Page 4

15K 1.3K 240
                                    

Karel tidak bisa membantah fakta bahwa Galant telah menjadi idolanya sejak lama. Dulu, ketika teman sekelasnya ditanya tentang sosok idola oleh bu guru, mereka akan menyebutkan tokoh-tokoh superhero  dengan semangat menggebu. Tapi, Karel, dengan tampang lugu justru mengucap nama sang kakak tanpa ragu.

Bagi Karel, Galant adalah sosok malaikat penjaga yang sempurna. Orang yang akan mati-matian membela saat Karel diolok teman sebaya. Yang dengan sigap menariknya bangkit setiap kali dirinya jatuh pada awal-awal ia belajar sepeda. Juga ... yang punggungnya selalu siaga untuk menggendongnya saat lelah menerpa. Galant itu berharga dan Karel bersumpah tidak ada Galant lain di dunia. Hanya satu saja, Galantino Wiradinata, kakaknya.

Karel sudah terbiasa dengan Galant yang peduli dan kelewat memanjakannya, jadi saat hampir tengah hari dan kakaknya itu belum memberi kabar apa-apa, Karel merasa ada yang berbeda. Rasanya hampa. Kakaknya betul-betul marah padanya. Kakaknya berhenti memedulikannya. Bahkan, ponsel Karel yang biasanya selalu penuh dengan pesan berantai dari Galant pun hari ini benar-benar senyap tanpa satu pun pesan yang masuk ke sana.

Karel menghela napas kasar kemudian merebahkan kepalanya di meja. Elang yang duduk di hadapannya sambil menikmati semangkuk soto pun refleks menghentikan suapannya dan beralih memandang Karel jengah.

"Please ya, jangan bikin selera makan gue hilang gara-gara liat muka asem lo itu." ujar Elang kesal. Benar-benar kesal. Bagaimana tidak kesal kalau yang dari tadi pagi dia lihat cuma muka kusut Karel lengkap dengan kelakuannya yang sama sekali nggak jelas. Diajak ngobrol nggak nyambung, ditanya juga nggak nyahut. Gimana Elang nggak sebal?

"Nggak usah diliatin, ribet amat."

"Lo duduk kurang dari satu meter di depan gue, mau nggak dilihatin juga tetep aja kelihatan, ogeb."

"Tinggal merem aja sih."

Kali ini Elang benar-benar geram. Dia menghentikan gerakannya dan kembali menghempaskan sendoknya ke dalam mangkuk, urung menyuap, padahal mulutnya sudah menganga.

"Sumpah, napsu makan gue beneran hilang sekarang. Tanggung jawab lo kalau gue kelaperan."

"Bodo amat."

Elang menarik napas dalam-dalam, matanya menatap sosok di depannya itu lekat-lekat. Ia tahu, menghadapi Karel memang tidak pernah mudah.

"Kenapa lo? Masih nunggu chat dari abang lo? Nggak usah ngarep, bang Galant tuh udah terlanjur sakit hati, nggak bakal mau ngurusin lo lagi."

Mendengar kalimat itu Karel bereaksi cepat, dia mengangkat wajah dan menegakkan badan, sementara matanya menatap Elang lurus dan tajam.

"Lo kok ngeselin ya, Lang?"

"Lah, emang bener kan? Bang Galant kan lagi marah sama lo, mau lo tungguin sampe kapan juga dia nggak bakal nge-chat lo duluan. Bahkan lo minta maaf juga belum tentu dimaafin sama dia."

Karel ingin sekali membantah apa yang Elang katakan, sialnya, semua yang cowok itu tuturkan sepenuhnya benar. Dia sudah mengecewakan kakaknya. Dia membuat lelaki itu marah lalu meninggalkannya. Mungkin juga benar, seandainya nanti dia meminta maaf, lelaki itu belum tentu mau memaafkan mengingat apa yang dia ucapkan tadi pagi benar-benar sudah sangat keterlaluan.

Karel tidak membalas ucapan Elang. Dia hanya bungkam sambil diam-diam melirik ponsel yang daritadi ia campakkan. Tiba-tiba saja Karel merindukan bunyi notifikasi saat Galant mengiriminya sederet pesan tidak berguna yang isinya hanya membuat Karel jengah. Padahal sebelumnya dia selalu mengeluh setiap kali ponselnya berisik oleh pesan dari Galant yang datang bertubi-tubi.

Sekarang Karel menyesal. Demi Tuhan dia menyesal. Galant itu bukan tipe orang yang mudah lunak ketika batinnya telah terkoyak. Sekalipun itu Karel, dia tetap tak akan mudah digoyahkan saat sudah terlanjur marah. Yang Karel takutkan, Galant benar-benar lelah dan mulai berubah. Mulai mendiamkan, lalu ... meninggalkan.

KARELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang