Kisah (6)

7.3K 859 323
                                    

Galant menutup pintu kamar Karel pelan setelah memastikan anak itu kembali beristirahat dengan nyaman. Dia menghela napas dalam, tepat ketika matanya bertemu dengan sepasang mata lain di tengah remang ruangan itu. Tatapan wanita itu redup, seperti ada banyak sekali kata yang ingin dia ucapkan, namun tertahan karena Galant tampak enggan. Lelaki itu justru berlalu begitu saja menuju kamarnya, meninggalkan Agnes dengan ibunya di sana.

"Ma, aku masuk dulu." Agnes buru-buru bangkit, kemudian menyusul Galant yang sudah menghilang di balik pintu kamar. Sementara Ramika hanya mengangguk samar, memberi ruang pada dua orang itu untuk bicara. Setidaknya mereka harus menyelesaikan perselisihan di antara keduanya setelah sempat bertengkar hebat tadi siang.

Dia sendiri memilih untuk tidak ikut campur kali ini. Hanya diam di tempatnya, berharap putri dan menantunya itu akan baik-baik saja, sambil diam-diam melirik pintu kamar Karel yang tertutup rapat dengan sorot mata tak terbaca. Entah mengapa, setelah kejadian ini, Ramika merasa semakin tidak menyukai keberadaan anak itu di tengah-tengah mereka.

Sementara di dalam kamar, Galant berdiri di depan lemari setelah mengganti pakaiannya. Di belakang sana, Agnes melangkah perlahan, mendekat, sebelum akhirnya membuka pembicaraan.

"Kamu tau kita perlu bicara, kan?"

Galant hanya diam. Menutup pintu lemari, kemudian berjalan ke ranjang.

"Gal, please.. semua bakal jadi makin kacau kalau kamunya nggak coba buat ngomongin masalah ini baik-baik. Aku pikir kamu nggak sekeras kepala itu buat tetep kekeuh sama pendirian kamu sendiri tanpa mau dengerin aku sama sekali."

"Kamu sendiri gimana? Aku kasih kamu kepercayaan dan kamu hancurin kepercayaan aku gitu aja."

"Gal-"

"Nes, kamu minta aku ngomong dan sekarang aku lagi ngomong!" Galant sedikit membentak, membuat Agnes mengatupkan mulutnya rapat. Kedua pasang mata itu beradu, saling mengunci satu sama lain, sebelum Galant melanjutkan kembali kalimatnya dengan suara yang lebih rendah dan tajam.

"Karel, demam tinggi dari pagi, dan kalian nggak tau sama sekali padahal kalian ada di rumah! Ngapain aja kamu dari pagi?"

"Tadi pagi dia baik-baik aja."

"Enggak! Dia sakit. Kamunya aja yang nggak peka. Seandainya tadi aku belum pulang, apa kamu bakal inisiatif cari dia di kamarnya, lihat kondisi dia?" Tatapan Galant menajam dan kali ini Agnes tidak ingin tinggal diam. Matanya memincing, menatap penuh kecewa pada Galant yang sekarang tampak begitu berapi-api di depannya.

"Jangan ngomong seolah aku nggak peduli sama dia, Gal. Selama ini aku selalu berusaha jadi kakak kedua buat dia, sebisa mungkin aku bikin dia nyaman. Kalau kamu lagi nggak ada, aku yang jagain dia. Aku yang nemenin dia. Kenapa sekarang kamu nyudutin aku seolah aku bener-bener nggak pernah peduli sama adik kamu?"

"Ya kamu ngecewain aku. Kamu udah kenal Karel lama, tapi bedain dia lagi sakit apa enggak aja kamu nggak bisa. Aku percayain adik aku ke kamu karena aku pikir kamu bisa ngerawat dia sama baiknya kayak aku ngerawat dia selama ini. Tapi lihat, Nes.. dia sakit sendirian, sementara kamunya asik sendiri sama mama kamu di luar."

"Kamu nyalahin mamaku juga?"

"Iya." jawab Galant cepat. Matanya menatap Agnes lekat, tapi sorot kekecewaan terpancar jelas dari sana. Dia sudah lama menahan diri untuk bicara hanya karena ingin menjaga perasaan Agnes saja. Tapi hari ini, saat ia melihat adiknya kepayahan sendiri tanpa ada yang peduli, Galant merasa tidak bisa menahan dirinya lagi. "Jangan kira aku nggak tau kalau mamamu nggak suka Karel di sini. Aku tau, Nes. Dari cara mama natap Karel, aku tau mama nggak nyaman."

KARELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang