Tenang itu masih menjadi melodi pengisi ruang. Sesekali terbelah oleh helaan napas kasar dari sosok di sisi brankar. Galant, masih memaku pandangannya pada Karel, memerhatikan bagaimana anak itu terlelap. Sudah hampir satu jam, tapi masih belum ada perkembangan yang setidaknya bisa membuat Galant merasa tenang.
Sementara Rega yang baru selesai memeriksa anak itu sekali lagi lantas mengembuskan napas pelan.
"Kemungkinan dia udah nahan sakitnya dari semalam. Dia juga ngelewatin obatnya kemarin."
Galant sedikit tersentak mendengarnya. Tangannya refleks meremat jemari kecil adiknya dalam genggaman, sedangkan yang satunya lagi terjulur mengusap kepala anak itu pelan. Galant itu kuat, ketangguhannya tak ada yang bisa mengelak, tapi entah bagaimana bisa dia selalu menjadi serapuh ini setiap kali melihat Karel seperti sekarang.
Adiknya masih kecil dan sudah harus berteman dengan kesakitan. Rasanya Galant benar-benar tidak sanggup membayangkan.
"Sakit banget, ya? Maafin gue." gumamnya dengan suara pelan yang bahkan tidak bisa Rega tangkap dengan benar. Tatapan lelaki itu sendu, mengisyaratkan kesedihan. Galant merasa semua ini terjadi karena dirinya, karena kelalaiannya, hingga dia tidak bisa kembali ke hadapan Karel dengan keadaan selamat siang itu.
Beberapa detik yang Galant lakukan hanya memandangi anak itu dalam bungkam, dengan genggaman yang semakin kencang. Sampai akhirnya dia teringat sesuatu dan segera mengalihkan pandangan pada Rega yang juga sedang menatapnya.
"Operasinya gimana?"
Galant ingat, waktu itu Rega pernah mengatakan kalau operasi pengangkatan sel kanker di tubuh Karel akan dilaksanakan dalam dua bulan jika kondisinya tidak mengalami penurunan. Tapi sekarang anak itu harus kembali jatuh dalam masa-masa sulitnya, lalu bagaimana dengan jadwal yang sudah Rega rencanakan dari awal?
"Gue masih belum bisa bilang apa-apa sekarang. Kita masih harus liat kondisinya pas dia bangun nanti. Kalau emang nggak ada yang perlu dikhawatirkan, gue bakal usahain operasinya tetap sesuai jadwal." Ucapan Rega sedikit demi sedikit berhasil membuat Galant tenang, walau jauh di dalam hatinya dia masih tetap merasa gusar.
Sebelum anak itu bangun lalu menatap Galant dengan mata jernihnya yang berbinar, dia tidak akan benar-benar merasa tenang.
"Ini anak ngeselin parah. Tapi kalau udah kayak gini, dia bikin gue was-was. Emang dasarnya ngeselin sih, nggak bisa sehari aja bikin orang tenang tanpa harus kocar-kacir panik."
Rega tersenyum kecil, dia melirik jam di tangannya sekilas sebelum kembali menatap Galant.
"Balik ke kamar lo. Lo juga perlu istirahat. Tante lo masih di luar, kan? Biar dia yang nungguin Karel."
"Gue oke, Ga."
"Lo nggak oke. Gue dokter, kalau lo lupa."
"Lo dokter spesialis kanker, kalau lo lupa."
Rega mendengkus. Galant dengan mulut tanpa filternya itu terkadang memang pandai membalikkan kata-kata. Tapi jangan panggil dia Rega kalau dia mau mengalah begitu saja.
"Gue lulusan terbaik fakultas kedokteran dari seluruh perguruan tinggi di Indonesia dua tahun lalu, kalau lo lupa. Nggak usah banyak omong! Balik ke kamar lo sekarang."
Kali ini Galant mengangkat wajah, membiarkan pekat irisnya beradu dengan kilat tegas di mata Rega. Galant tahu temannya itu sedang tidak ingin dibantah apapun alasannya, tapi daripada menuruti perintah Rega, Galant jelas punya alasan lebih penting untuk tetap tinggal lebih lama di sana.
"Daripada lo capek-capek ngomong pake urat nyuruh gue balik, mending kita ngomongin hal yang lebih penting." Tatapan Galant berubah serius, terlalu serius sampai Rega mulai tak tenang dibuatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
KAREL
Teen FictionBagi Karel, Galant adalah pahlawannya. Malaikatnya. Alasan dia untuk tetap bernapas di dunia. Sedang bagi Galant, Karel adalah hidupnya. Detak jantungnya. Segalanya.