28

348 40 7
                                        

"Gak tau lah. Gak ngerti. Sakit kali mereka."

"Hus jangan gitu." Peringat Neru. "Mungkin emang belum mau cerita kali."

Risa berdecak, helaan nafas kasarnya menggambarkan frustasinya beberapa hari ini. Kakaknya maupun Manaka masih enggan untuk bercerita, kejadian itu seolah ditutup-tutupi. Dirinya mulai merasa tidak nyaman karena banyak hal ngawur yang berkeliaran soal mereka berdua disekolah.

"Kalo gini mending dibatalin aja sebelum jadi toxic." Keluh Risa lagi.

Neru diem, pikiran dia juga kesana. Tapi maunya perjodohan Risa aja yang batal, biar dia juga bisa ngebatalin. Hubungannya sama Techi emang enggak dan mungkin belum keliatan bermasalah banget kaya Manaka sama Rika dari cerita Risa, tapi ada keinginannya juga buat batalin semua itu. Biar dia juga maju.

Iya, maju. Maju buat dapetin Risa.

.
.
.
.
.
.
.
.

"Beneran diajakin lu?"

"Bener. Mumpung besok Ms. Sayaka pergi dari sore."

"Tapi bukannya lo mau ngajak Memi pergi?"

"Gak jadi. Dia kan nolak, yaudah."

Kage menatap Techi enggak percaya, menghela nafas lalu menepuk pundak sahabatnya ini. "Gue sebenernya naruh harepan buat lo berdua bisa balikan lagi."

"Balikan ya..." gumam Techi pelan. "Susah kayanya. Gini-gini gue masih ngerasa sama kaya sebelumnya kok, masih suka sama Memi. Tapi sekarang gue gak tau perasaan dia sama sekali. Apalagi ada orang yang lagi deket sama dia."

"Hilih jangan jadi galau gitu dong kampret."

Techi ketawa, "Tapi gimana pun gue bakalan baik sama dia, entah nanti responnya bakalan kaya gimana. Gue juga enggak nyerah biar kita balikan."

"Tetep ye berjuang."

"Iya lah."

"Ngomong-ngomong gak sakit kan lo?"

"Apasih?" Techi resah karena telapak tangan Kage nempel di jidatnya secara berlebihan.

"Abisnya lo aneh banget, kok bisa-bisanya ngomong kaya gitu. Biasanya kalo soal Memi selalu menggebu-gebu, eh sekarang loyo amat."

"Gue abis kena ceramah di rumah Ayaka." Ceritanya. "Intinya gue dibilang memaksakan kehendak, langsung nancep dihati."

"Aayan maksud lo?"

"Iya, dia."

Kemaren itu sebelum Techi dijemput sama kakak sepupunya, dia sempet selek sama Aayan karena ngejelekin Kojirin. Intinya Techi ngerasa superior lalu memandang rendah Kojirin yang emang bukan dari kalangan dia maupun Memi.

Dari sudut pandang Techi, Kojirin itu enggak ada apa-apanya. Terlalu berlebihan kalo deketin Memi, apalagi sampe pacaran.

Aayan gak terima dong temennya direndahin, udah siap-siap menabuh genderang perang tapi untungnya ada Airi sama Kokochan yang menengahi.

Selama nunggu Jurina hampir setengah jam, Techi dapet petuah. Awalnya cuma masuk telinga kanan terus keluar dari telinga kiri, enggak ada yang nyangkut. Pandangannya ke mereka tetep middle class, alias enggak penting omongannya buat di terapin.

Sampe kemudian Kokochan bilang, "Yang lo harepin apaan? Kalo dia enggak bahagia sama lo berarti lo tugasnya ngejagain dia doang, lo nganter dia buat bahagia sama orang lain."

"Gue cuma bohong ke dia sekali." Bela Techi.

"Bohong itu... sekali lo lakuin lama-lama bakalan terus lo lakuin buat nutupin kebohongan-kebohongan sebelumnya."

YOLO!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang