Semenjak malam itu Alena tidak berani berjalan sendiri, dia menghindari tempat-tempat sepi dan pulang secepat mungkin. Jika memang diperlukan untuk keluar malam, ia meminta Abigail atau Amanda untuk menemaninya.
Alena masih saja membayangkan kejadian malam itu, semuanya nampak nyata jika ia berpapasan dengan Maliq. Ia merasakan lehernya tercekik karena kehabisan nafas. Sebisa mungkin dia mencoba menghindari Maliq dan menutupi kegugupannya dengan mengenakan masker. Beberapa rekan kerjanya merasakan perubahan sikap Alena yang aneh belakangan ini.
Sebuah panggilan video call menyadarkan Alena dari lamunannya. Seketika segaris senyum muncul dari wajahnya yang murung.
"Assallamualaikum anak ibu ayah" sapa Alena.
"Walaikumsalam wa rahmatullah putri ibu. Gimana kabarmu nak? Sehat kan?" tanya ibu Alena.
"Alhamdulillah, Alena sehat ibu " jawab Alena.
"Apa kamu ada masalah nak" tanya sang ayah.
Untuk beberapa detik Alena teringat dengan kejadian malam itu, Tanpa sadar ia hanya diam membisu sedangkan pikirannya entah kemana.
Alena tersadar dari lamunannya, ia memilih diam tanpa memberitahu ayahnya karena hal tersebut hanya akan membuat kedua orang tuanya khawatir.
"Aku rindu kalian, doakan aku ibu agar sidang skripsiku nanti bisa berjalan dengan lancar".
Setelah menutup panggilan itu, Alena menghela nafas kasarnya. Ia teringat masa kecilnya saat sang ayah mencubit pipinya. Entah mengapa saat ini ia meindukan pelukan sang ayah yang selalu bisa menenangkan hatinya. Alena masih terlihat melamun di pinggir jendela itu sampai-sampai ia tak sadar jika sedari tadi Maliq memperhatikannya dari belakang.
"Aku tidak membayarmu untuk melamun"
Alena seperti mendapatkan nyawanya kembali lalu melihat wajah brengsek Maliq yang sudah ada dihadapannya. Seketika itu Alena berlari menuju meja kerjanya tanpa memberi salam pada bos besarnya itu.
Tingkah konyol Alena berhasil membuat Maliq tertawa untuk sejenak. Maliq meminta Jeremy untuk melakukan langkah selanjutnya karena ia tak sabar ingin memiliki Alena secepatnya.
Dua hari ini Alena benar-benar disibukkan dengan jadwal grand launching pembangunan hotel di Bali. Alena merasa iri dengan Althaff karena ia ditugaskan Maliq untuk mengurusi grand launching di Bali namun pada kenyataannya, dia harus bersiap untuk menghadapi sidang skripsi minggu depan.
"Jangan kau lupakan pie susu dan kopi kintamani ku." balas Alena di room chat.
"Yes ma'am." balas Althaff dengan mengirim gambar barang pesanannya yang sudah di pack di koper.
Walaupun Alena tak bisa menemaninya namun Alena cukup kooperatif untuk membantunya. Ia menghubungi saudara ibunya yang ada di Bali untuk membelikan daftar barang sebagai oleh-oleh. Kain Bali, tas rotan, produk spa dan beberapa barang pesanan teman satu timnya.
Ballroom Hotel Dixion
Akhirnya hari yang penting itu tiba. Ini adalah kali pertama ia hadir dalam acara perusahaan. Sejujurnya Alena gugup karena ia harus tampil dihadapan orang banyak dalam acara resmi seperti ini. Ia takut jika nantinya ia membuat sebuah kesalahan.
Alena muncul dengan suasana yang berbeda. Penampilan Alena kali ini berhasil mencuri perhatian para tamu undangan dan media. Kebaya brukat berwarna biru yang dipadukan dengan kain batik bercorak bunga berwarna hitam merupakan perpaduan serasi.
Alia sengaja mengenakan kebaya untuk mewakili tema desainnya yaitu Indonesia-Bali. Negara yang terkenal dengan kain batik dan kebaya yang kini mulai dikenal dunia. Alena ingin menunjukkan indahnya salah satu warisan budaya milik Indonesia yang telah mendunia lewat pakaian yang ia kenakan. Lagipula hotel yang akan dibangun perusahaan berlokasi di Bali, maka tak salah jika ia menunjukkan budayanya lewat busana yang kenakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Assalamualaikum My Beloved (Revisi)
Romance"Don't touch me! we're not muhrim!" bentak Alena. "Oke, I'll get you my muhrim!" kata Maliq dengan tegas. Awalnya Maliq menyukai Alena karena karakternya yang berbeda namun seiring dengan penolakan yang Alena tunjukkan membuat Maliq terobsesi untu...