Sebuah seringai terlihat disudut lelaki itu saat melihat Alena menari dengan santainya. Semakin lama dia semakin mendekati Alena yang masih asik dengan acara memasak. Matanya bagaikan elang yang melihat mangsa sambil menyimpan telapak tangannya di dalam saku celananya.
"Hhmmmm wangi banget nasi goreng gue. Saatnya ma...."
Alena berdiri mematung saat melihat sesosok lelaki ada dihadapannya. Hampir saja sepiring nasi goreng itu jatuh tercecer ke lantai saat Alena membalikkan badan.
"Astaghfirullah, dari kapan tu orang diri di situ? Jangan-jangan dia liat gue lagi joget-joget tadi. Mati lo AL!" pekik Alea dalam hati.
"Apa kau akan berdiri disana sampai pagi?" goda Maliq.
Alena berjalan sambil melihat ujung sandalnya. Dia tak berani mengangkat wajahnya mengingat kegiatan konyolnya tadi. Sudah menjadi kebiasaan Alena untuk mendengarkan music saat memasak. Menurutnya jika suatu masakan dibuat dengan hati yang gembira maka hasil masakannya akan terasa nikmat.
Alena sengaja tidak duduk di kursi yang Maliq tarik, ia lebih memilih untuk duduk di seberang lelaki itu. Alarmnya langsung berbunyi saat berdekatan dengan Maliq. Lelaki itu terlalu ber-ba-ha-ya bagi kelangsungan hidupnya.
Saat sedang makanpun, dia tak bisa mengangkat wajahnya karena sedari tadi Maliq mengawasinya dari seberang kursinya. Entah apa yang lelaki itu pikirkan hingga tak membuatnya beranjak dari kursinya.
Hening ... hanya ada suara dentingan sendok dan piring yang beradu saat itu.
Maliq's POV
Wanita yang ada dihadapannya ini adalah wanita yang berbeda. Jika semua wanita yang ia kenal sangat anti dengan dapur, justru Alena sangat senang berada didapur. Maliq memperhatikan Alena dengan diam-diam, menikmati pemandangan langka yang ada dihadapannya. Ingin rasanya Maliq mendekap tubuh itu lalu meletakkan kepalanya di ceruk leher Alena yang tak pernah bisa ia lihat.
Sama halnya dengan Alena, Maliq juga terkejut saat Alena membalikkan badannya. Wanita sederhana itu memancarkan aura yang tak bisa ia gambarkan. Dia teringat dengan sosok ibu yang selama ini ia rindukan dan wanita yang ada dihadapannya itu sangat mirip dengan wanita yang telah melahirkannya.
Maliq mengikuti Alena sampai ke meja makan karena tak ingin melepaskan mata teduhnya itu. Ini kali keduanya ia melihat leher jenjang Alena yang mengintip dari balik pashmina yang tak dirapatkan. Hasratnya untuk membuat tanda kepemilikan dileher itu makin kuat, jika saja dia tidak ingat dengan rencananya maka dia akan menarik wanita itu ke ranjangnya.
Keesokan harinya
"Maliiiqqqq!" teriak Clarissa saat melihat lelaki itu duduk dengan santainya dimeja makan. Gadis kecilnya itu terlihat ceria saat memeluk kakaknya.
"Al kamu tidak sarapan dulu?" tanya nenek Rose.
"Tidak nek, saya sedang puasa." kata Alena sambil mencium punggung tangan nenek itu.
"Saya pamit dulu nek. Saya pergi duluan pak." pamit Alena dengan sopan.
Alena mendekatik Clarissa dan membisikan sesuatu, "Cla ingat PERJANJIAN kita!" Alena sengaja menekankan kata perjanjian untuk mengingatkan kesepakatan itu.
Alena sengaja berangkat lebih awal untuk menghindari bos besarnya itu. Seperti biasa, sang supir hanya mengantarkannya sampai halte bus.
Di Ruang Makan
"Cla kenapa Alena puasa?" tanya nenek Rose.
"Hari ini Alena ulang tahun. Katanya dia selalu melakukan itu setiap tahunnya." kata Clarissa sambil mengunyah rotinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Assalamualaikum My Beloved (Revisi)
Romance"Don't touch me! we're not muhrim!" bentak Alena. "Oke, I'll get you my muhrim!" kata Maliq dengan tegas. Awalnya Maliq menyukai Alena karena karakternya yang berbeda namun seiring dengan penolakan yang Alena tunjukkan membuat Maliq terobsesi untu...