32. Tias Sadar

343 21 7
                                    

Bintang selalu turun menghujani gelapnya langit malam. Namun ntah mengapa kali ini tak ada satu pun sinar dari sang bintang. Gelapnya langit pada malam ini seolah menggambarkan suasana hati Ali.

Pria yang sedari tadi menahan rasa sakit pada kepalanya hanya dapat terbaring lemah. Sesekali ia melihat ponselnya, berharap benda persegi panjang itu memberinya kabar.

Huft....

Ntah sudah ke berapa kali Ali menghelakan napasnya berat. Mungkin dengan itu rasa cemas Ali dapat berkurang.

Ternyata pria itu sedang menunggu kabar Tias. Beberapa jam lalu Ali sempat menelpon Sinta untuk menanyakan akan kondisi gadis itu. Namun jawaban Sinta masih sama sewaktu ia berada di ruangan Ali.

'gimana kondisi Tias?'

'Dia masih koma, tolong jangan terus hubungi gue. Karena telpon dari lo gk akan buat dia cepat sadar!'

Kata-kata yang menohok dari Sinta itu berhasil menembus hingga ke uluh hati. Baru kali ini dia benar-benar merasakan perih akibat omongan seseorang.

'oke baik, tapi gue minta tolong hubungi gue kalau dia udah sadar'

Telpon di putus oleh Ali, ia tak membiarkan Sinta kembali membuka suara dan melontarkan kata-kata tajamnya.

Hingga saat ini pun kata-kata dari Sinta masih terngiang-ngiang di telinga Ali. Pria itu sangat merasa bersalah, karena ia saat ini tidak bisa melakukan apa-pun untuk gadis yang di cintainya.

Hanya doa dan harapan yang dapat terus di ucapkan Ali setiap detiknya. Ia pun berusaha lebih tenang dan tetap berpikir positif. Untuk mengalihkan rasa cemasnya Ali mengambil remote TV dan menyalakannya.

Namun baru ingin menikmati tayang yang ada di layar persegi panjang itu, tiba-tiba Ali merasakan sakit yang tidak bisa di tahan.

Kepalanya seperti di tindih oleh beban yang sangat berat. Otak yang ada di dalamnya terasa seperti mendidih dan kedua bola matanya pun ikut terasa perih sampai-sampai ia tak dapat membukanya.

Arghhh.....

Ali meraung kesakitan, ia tak dapat mengendalikan rasa sakit yang menimpanya ini. Dengan mata yang tertutup Ali meraba ponselnya yang tiba-tiba berdering.

Ia terus memegangi kepalanya, sambil sesekali menjambak rambut-rambutnya dengan kasar.

Akhirnya Ali menemukan ponselnya, dengan napas yang mendera memburu dan tangan yang sedikit gemetar karena menahan rasa sakit Ali mengangkat telpon itu.

'Tias udah sadar' ia tampak begitu percaya bahwa yang menelponnya ini adalah Sinta.

'udah'

Baru ingin kembali membuka suara, telpon sudah di putus sepihak oleh Sinta. Ali hanya dapat bersyukur dan bernapas lega.

Tangan Ali meraih remote TV dan mengatur volume nya hingga full. Ia kembali meraung kesakitan di dalam ruangan itu, tak ada satu orang pun yang tau bahwa pria itu kini sedang berjuang melawan rasa sakit.

Badannya kini menggigil kedinginan, ntah angin dari mana yang dapat membuat dirinya seperti berada di dalam kulkas. Badannya pun menggeliat tak tenang, otaknya terasa seperti di celupkan ke dalam lava panas.

Ali menjambak rambutnya kasar, ia tak merasakan lagi sakit dari jambakanya itu. Akhirnya pria itu menyerah, ia tak tahan lagi dengan semua sakit yang menyerang tubuhnya.

Ia membuka paksa bola matanya, sementara tangan yang satunya sibuk meraih tombol pasien yang berada di atas kepalanya. Ketika jarinya berhasil menekan tombol itu, tubuh Ali akhirnya terjatuh dan kepalanya pun terhantam kuat ke lantai.

My Trip My Future ✓ [REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang