42. Ada Apa Lagi Ini?

372 17 4
                                    

Rasa sesak di dada semakin menjadi ketika sahabatnya sendiri membenci keputusannya itu. Kini ia jadi serba salah, hati dan pikirannya sedang tak sejalan.

Bagaimana ini apa yang harus dia lakukan? Pada siapa lagi gadis itu harus bertukar pikiran? Semua orang saat ini tengah menjauh darinya. Semuanya benar-benar telah tak peduli bahkan membenci gadis itu.

Sesak di dada yang semakin menjadi membuat isakan Tias tak dapat di tahan olehnya. Beberapa kali rintihan penyesalan sempat di ucapkan Tias.

Tiba-tiba suara handel pintu kamar terdengar membuka. Dengan cepat Tias menyekal air matanya, tak ingin seorang pun tau bahwa kini ia sedang menangis. Tanpa melihat siapa orang yang ada di ujung pintu itu, Tias pun langsung membaringkan tubuhnya lalu menutupi wajah dengan bantal.

"Oi lo kenapa dah?" samar-samar terdengar suara seorang gadis. Tias mencoba mendengarnya lebih jelas lagi, sepertinya ia mengenali suara orang ini.

Dengan sedikit mengangkat dekapan bantal yang menutupi wajahnya, Tias mencoba menebak suara gadis yang tengah mengajaknya berbicara.

"Yas lo kenapa sih? Biasa aja kali liat gue-nya, engga usah kaget gitu..."

Akhirnya Tias tau siapa orang yang masuk ke dalam kamarnya itu. Dengan hati kalut Tias memberanikan diri membukakan dekapan bantal, menampilkan mata sembab dengan rambut yang sudah terlihat tak teratur.

"Yaampun lo kenapa kaya orang yang engga di urusin gini? Baru juga gue tinggal ngambil Pizza sebentar."

"E-elu engga marah sama gue sin?" tanya Tias hati-hati.

Sinta yang sedari tadi tengah menikmati potong pizza itu pun bergerak menghampiri Tias, "lah emang gue harus marah karena apa?"

"I-itu gara-gara g-gue mau pindah..." mulutnya terasa sulit untuk mengucapkan sesuatu kepada Sinta.

"Ohh masalah itu? Kalau gue mah terserah sama elo-nya aja. Yang penting lo bisa jaga diri di sana dan jangan pernah lupain gue, sahabat terbaik lo," celoteh Sinta menghabiskan potong pizza pertamanya.

"Makasih sin..."

Setelah puas berbincang ria, Sinta pun memutuskan untuk pulang, "oke jadi nanti hari minggu kita jalan-jalan satu harian dan neraktir gue makan sepuasnya kan?"

Tias membalas ucapan Sinta dengan anggukan yang diiringi oleh sebuah senyuman manis.

"Oke siap laksanakan. Yaudah gue pulang dulu ya, bye jangan kangen..." ucapnya sembari berjalan menuju taksi online yang sudah menunggu di depan rumah Tias.

Seiring kepergian Sinta, Tias pun terus mengingat semua kata-kata penguat yang telah di lontarkan oleh sahabatnya itu. Semua ocehan Sinta tadi berhasil membius hatinya agar benar-benar yakin.

Kini tak ada lagi keraguan pada gadis itu. Ia harus tegas dalam mengambil keputusan, tak boleh lemah apalagi sampai menyerah. Jika ingin benar-benar hilang dari hadapan pria itu maka lakukanlah karena menurut hati mu itu yang terbaik.

Ia masuk ke dalam rumah setelah taksi yang membawa Sinta menghilang dari hadapannya. Angin malam begitu jahat, menusuk hingga ke tulangnya.

Tias di sambut oleh bi Ima ketika baru ingin melangkahkan kakinya menaiki anak tangga pertama, "Non Tias..." panggil bi Ima.

"Iya bi?"

"Hmm maaf non, ini tadi ada titipan buat non Tias. Bibi tadi sibuk di dapur makanya lupa ngasihkan ini ke non Tias," bi Ima menyodorkan sebuah paper bag yang berwarna merah jambu itu.

"Dari siapa ya bi?"

"Hmmm... Bibi lupa nanya namanya tadi non. Tadi ciri-ciri orangnya kalau bibi engga salah liat itu tinggi, putih, otonya tuh gede non, sama... ganteng juga sih non."

My Trip My Future ✓ [REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang