40. Keputusan Ku

352 19 12
                                    

Astrid ikut bersedih ketika melihat anak gadisnya termenung seperti itu. Ia menarik Tias ke dalam dekapannya, mencoba mentransfer kehangatan untuk gadis itu agar ia tak terus-terusan bersedih seperti ini.

Namun usaha yang di lakukan Astrid malah semakin membuat Tias bersedih, bahkan kini ia meneteskan air matanya. Tias membalas pelukan sang bunda dengan erat, ia sangat butuh pelukan kasih sayang seperti itu saat ini.

"Bunda..." lirih Tias di sela-sela pelukan mereka.

"Anak bunda kenapa nangis lagi sayang?"

Tias tak kunjung membalas perkataan bundanya itu. Ia kini sibuk mengatur perasaannya yang semakin tak terkontrol. "Bun Tias mau pindah sekolah," ujarnya secara tiba-tiba.

Perkataan gadis itu membuat Astrid sangat terkejut. Mengapa anaknya meminta pindah sekolah secara tiba-tiba? Apa penyebab sang putri meminta itu? Banyak hal yang ingin ia tanyakan kepada Tias, namun niatanya di urungkan karena tangis Tias yang semakin deras menghujani wajahnya.

"Sudah jangan nangis dulu, bicara yang benar kenapa kamu mau pindah sekolah?" tanya Astrid sembari menenangkan putrinya.

Ia masih menangis sesenggukan, namun gadis itu berusaha memberi tau alasan dirinya, mengapa ia ingin pindah sekolah.

"Papa Ali benci sama Tias bun, papa Ali engga suka liat Tias deket-deket sama Ali. Karena Tias selalu bawa masalah untuk Ali... Jadi Tias engga pengen lagi buat Ali selalu berada di dalam masalah gara-gara Tias. Tias jahat bun... Tias jahat...." lagi-lagi hujan air mata membasahi seluruh wajah gadis itu. Kali ini ia lebih tak terkontrol, ia menjambak-jambak rambutnya dengan kasar. Seolah ia sangat benci dengan dirinya sendiri.

"Hey... Kamu kenapa jadi kaya gini, tenang sayang. Kamu engga sejahat yang mereka katakan. Kamu putri bunda yang paling cantik dan baik... Bunda sayang sama kamu... Jangan kaya begini, yang ada kamu cuma nyakiti diri kamu aja." Astrid berusaha melepaskan tangan Tias yang terus memberontak untuk menyakiti dirinya sendiri.

Wanita itu memberikan kecupan di puncak kepala sang putri, menunjukkan rasa sayangnya. "Anak bunda jangan kaya gini lagi ya. Jangan terlalu di pikirkan omongan orang, kalau emang mereka engga suka sama kamu biarkan saja. Karena rasa sayang bunda ke kamu engga akan pernah hilang hanya karena mereka yang tak menyukai mu nak."

Tias hanya dapat menahan rasa sesak di dadanya. Ia tak bisa berkata-kata lagi saat ini. Bahkan untuk sekedar menarik napas saja rasanya sangat berat.

"Kehidupan emang begitu. Ada yang suka dengan kita ada juga yang tidak. Jadi ikuti saja alurnya. Jika kamu sama Ali berjodoh, yakin dan percayalah kalian pasti akan bertemu lagi meski jutaan ombak menghanyutkan kalian. Jadi jangan nangis lagi oke?"

Gadis itu mengangguk kecil, mulutnya masih terasa keluh untuk membuka suara.

"Udah jangan sedih-sedih terus, jelek tuh mukanya di tekuk kaya gitu." Astrid mengusap bercak air mata yang masih tersisa di pipi anaknya perempuannya itu.

"Oiya, kalau kamu mau pindah sekolah yaudah, nanti bunda urus surat kepindahan kamu. Emang kamu mau pindah ke sekolah mana?"

Tias menggelengkan kepalanya. "Belum tau," tuturnya masih terlihat murung.

"Yasudah kamu cari aja sekolah yang menurut kamu bagus dan nyaman. Bunda pasti akan selalu mendukungmu, selama itu baik untuk anak bunda yang cantik ini." Ucapnya sembari menyentuh dagu Tias.

Tias menganggukan kepalanya lagi. Ia kini berusaha untuk terlihat baik-baik saja di depan sang bunda. Segaris senyuman paksa terbentuk di sudut bibir gadis itu.

"Nah gitu dong, baru anak bunda yang cantik," Astrid menarik pipi anaknya gemas, kemudian memberikan pelukan hangatnya lagi.

"Makasih ya bunda."

My Trip My Future ✓ [REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang