Hari-hari padat walk-in interview berakhir sudah dengan puluhan resume yang harus segera ditindaklanjuti. Meja kerjaku makin tidak terurus, tertutup tumpukan berkas lamaran. Aku sampai harus merelakan kolong mejaku untuk menyimpan beberapa berkas, sampai kedua kakiku harus bertumpu di atasnya. Luar biasa sekali tujuh hari kemarin.Aku melihat sekelilingku, lantai delapan kantor PT. Asuransi Gemintang masih sepi. Aku memang terbiasa datang sebelum jam delapan pagi, nggak enak rasanya datang ke tempat kerja mendekati jam masuk kantor dan terburu-buru langsung bekerja. Tapi terus terang saja, sekarang mah keterlaluan terlambatnya, sudah hampir pukul sembilan dan area sales recruitment masih sepi. Biasanya, Nindon dan Mbak Riesta sudah datang.
Sepertinya teman-temanku semua tepar*. Hari terakhir kami walk-in interview sampai jam sembilan malam, karena masih banyak kandidat yang datang. Aku saja akhirnya pulang jam setengah sebelas malam dari kantor. Saat aku pulang, Mutia dan Nindon masih ada. Makanya kemarin mereka berdua sampai cuti dadakan.
Baru saja aku meregangkan kedua tanganku setelah memilah-milah berkas di depanku, ketika Nindon memasuki ruangan sales recruitment.
"Mutia resign!" teriak Nindon ketika baru saja sampai di meja kerjanya.
Aku melongo. Fokus perhatianku yang tadinya ingin kuberikan pada layar laptop buyar sudah. Padahal masih ada puluhan kandidat yang masih harus ditindaklanjuti. Terlalu lama menindaklanjuti hasil walk-in interview, kandidat sudah kabur biasanya. Maksudnya, bisa saja sudah tidak berminat lagi atau malah telah terjaring di kompetitor. Dunia asuransi sangat ketat persaingannya.
"Kamu jangan bercanda dong," Mbak Riesta berkomentar dari depan meja kerjaku. Entah kapan dia sampai, aku tidak sadar.
Area kerja sales recruitment memang berdekatan, Nindon dan Lucky di kanan dan kiri meja kerjaku sementara Mbak Riesta dan Mutia ada di depanku. Mabeth yang agak jauh lokasi kerjanya, lebih dekat ke arah Ilen.
"Coba deh lihat Sagem kalau nggak percaya," tantang Nindon. Spontan aku dan Mbak Riesta mengecek ponsel kami masing-masing, membuka aplikasi whatsapp, kemudian mencari groupchat yang dimaksud.
Mutia has left the chat.
Hanya itu tulisan terakhir yang ada di grup.
"Left chat doang?" tanyaku.
"Kepencet kayanya," tambah Mbak Riesta.
"Dia benar resign," ujar Lucky yang baru saja datang. Matanya terlihat merah dan kedua kantung mata mulai muncul menghiasi.
"See?" ujar Nindon bangga.
"Dia cerita ke elu?" tanyaku masih sangsi. Soalnya Nindon terkenal suka lebay dan penyebar gosip nomor satu. Yah, walau kadang gosip yang dia ketahui lebih banyak benarnya sih.
"Hari terakhir walk-in interview kan dia nebeng pulang bareng gue, cerita kalau dia sudah masukin surat resign."
Kali ini tidak hanya aku, Mbak Riesta juga mengikuti raut mukaku yang melongo untuk kedua kalinya.
"Tapi gila saja kalau benar, ini Metro lagi menggila lho targetnya," ujarku masih menolak percaya. "Ini gue saja sudah ketumpahan kerjaan kalian, apalagi nggak ada Mutia," lanjutku horor membayangkan tumpukan kertas yang tidak akan pernah berkurang.
"Nanti pulang seperti kemarin lagi ya setiap hari," Mbak Riesta bergumam pelan, seakan-akan baru menyadari tragedi yang terjadi.
"Taruhan makan siang, hari ini pasti ada meeting dadakan," ujar Nindon semakin membuat kami panik. Sepertinya hanya Lucky yang tampak tidak peduli. Entahlah, saat-saat seperti ini membuat aku yakin memang kromosom pria dan wanita berbeda.
Baru saja aku ingin berkomentar, Mabeth sudah mendatangiku. "Mbak Leta, dipanggil Mbak Ilen di lantai satu ya."
"Eh, ada apa?" tanyaku heran. Nggak biasa-biasanya Ilen memanggilku sendiri.
"Nggak tahu, cepat ya. Nanti aku yang kena marah," jawab Mabeth sambil lalu menuju meja kerjanya.
"Siap-siap Let, perasaan gue bilang ada bom waktu," komentar Nindon mengiringi langkah bingungku keluar dari ruangan.
Teman macam apa senangnya membuat panik, gerutuku sambil memijit tombol lift. Tidak habis pikir ada apa Ilen memanggilku sepagi ini.
***
*tepar: (bahasa gaul) artinya terkapar lemas.
Ada apa dengan Leta? Kenapa sampai Ilen harus memanggilnya one on one? 😱😱😱
KAMU SEDANG MEMBACA
Recruiter Lyfe - (TAMAT)
ChickLitSeperti apa kisah kehidupan Niar Arleta sebagai sales recruiter dengan target puluhan kandidat setiap bulannya? Pastinya, kurang tidur, akhir pekan terpakai untuk bekerja dan selamat tinggal kehidupan sosial. Untungnya Leta punya teman-teman sesama...