Pagi itu aku tiba di kantor disambut Lista, Nindon, dan Mabeth yang sudah menunggu di meja kerja. Aku sampai harus mengecek jam tanganku berulang kali, memastikan benar masih pukul delapan pagi kurang lima menit. Tidak biasanya mereka bertiga sudah datang sepagi ini."Tumben amat kalian sudah datang," ujarku heran sembari meletakkan tas kerjaku di atas meja.
"Kita kan mau dengar cerita semalam dong," Nindon mengedipkan matanya ke arahku.
"Ha? Cerita apa?" tanyaku sambil lalu karena fokus menyalakan laptop, sekaligus mengambil berkas-berkas lamaran untuk sesi wawancara yang akan dimulai sekitar setengah jam lagi.
"Ah Mbak Leta pura-pura deh, penasaran nih kami," Mabeth ikutan nimbrung, tentu saja lengkap dengan gaya centilnya yang dulu pertama melihatnya membuatku gerah, sekarang malah terasa aneh kalau tidak dilakukan Mabeth.
Aku menatap Mabeth balik dengan muka yang sudah pasti penuh tanda tanya.
"Semalam dengan Ibra, cerita dong apa saja yang terjadi?" tanya Nindon seraya menggeser kursinya mendekatiku. Ia lalu meletakkan kedua sikunya di atas meja kerjaku, untuk menopang wajahnya.
"Astaga," ujarku sedikit memekik. "Dia antar pulang saja kali, nggak ada yang lain." Benar-benar deh manusia-manusia ini bukannya bekerja malah kepo, ujarku dalam hati.
"Masak? Dia sampai maksa elu banget waktu ajak pulang bareng," lanjut Nindon masih penasaran.
"Iya Mbak Leta, makanya kita akhirnya tahu diri. Langsung memutuskan pesan taksi online saja, habisnya nggak ada tanda-tanda ditawarin Mas Ibra ikut mobil dia sih. Padahal kan mobilnya besar," tambah Lista setengah manyun.
Aku terdiam. Benarkah seperti itu kejadiannya kemarin? Aku tidak terlalu ingat seperti apa peristiwanya, tapi memang aku ingat anak-anak langsung saja turun saat taksi online mereka tiba tanpa memberitahuku.
"Lu benar nggak sadar ya, Let?" desak Nindon.
Aku menggeleng, kembali mencoba mengingat-ingat kejadian semalam. Sumpah ingatanku tidak seperti itu.
"Mas Lucky saja sampai sadar lo, Mbak," kali ini Mabeth kembali angkat bicara. "Dia yang pertama bilang ke aku untuk izin pulang lebih dahulu, biar nggak mengganggu kalian katanya."
"Idih apa pula Lucky," ujarku sambil mencari-cari keberadaan makhluk satu itu, tapi dia benar belum datang sepertinya. "Ibra antar gue sampai rumah saja, di mobil juga dia nggak banyak bicara. Malah gue yang jadi usaha buka topik obrolan," ujarku teringat semua pertanyaan-pertanyaan bodoh yang terlontar.
"Aneh banget, padahal kita yakin dia mau minta Mbak Leta jadi pacarnya," ujar Lista dengan pandangan menerawang.
Aku tersedak, mataku melotot ke arah Lista. "Mana mungkin," ujarku akhirnya setelah berhasil menemukan tisu. "Kita kayak anjing dan kucing kali," lanjutku.
"Biasanya gitu, Let. Opposites attract," jawab Nindon kalem yang disusul dengan tawa Lista dan Mabeth berbarengan.
Belum sempat aku membalas komentar Nindon, Ilen tiba-tiba sudah ada di depan meja kerjaku, berdiri persis di sebelah Lista.
"Leta, laporan yang lu kirim sore kemarin kurang lengkap. Seperti tergesa-gesa ya masukin datanya. Sebelum jam sembilan ini, kirim balik ke e-mail gue ya," ujar Ilen sambil menatapku tajam. "Elu juga Nin, banyak typo banget nama-nama kandidatnya setelah gue cek sama datanya Mabeth. Jam sembilan juga ya gue tunggu. Mabeth sama Lista juga tolong cek ulang data kalian ya," lanjut Ilen dan seperti biasa, langsung berlalu ke mejanya tanpa menunggu respon kami.
"Yeee nenek sihir," gerutu Nindon berbisik. "Dia pasti tahu semalam kita habis senang-senang nggak ajak-ajak dia, sekarang balas dendam. Tinggal Lucky saja nih belum kena."
"Kayaknya aku tahu deh kenapa Mbak Ilen tiba-tiba begitu," Mabeth ikutan berbisik. Sontak perhatian kami semua terpusat ke arah Mabeth. Tahu sudah ditunggu, Mabeth meneruskan informasinya, "Semalam waktu ke tempat karaoke duluan sama Lista, kita sempat ketemu Mbak Ilen. Dia tanya kita mau ke mana, dan sama siapa saja. Dia kaget banget kayaknya saat tahu Mas Ibra ikutan."
"Hubungannya apa sama Ibra?" tanya Nindon mengalahkanku. Aku juga sama penasarannya.
"Mbak Nindon belum tahu?" tanya Mabeth sedikit bingung. "Mbak Ilen kan gosipnya naksir Mas Ibra."
Aku, Nindon dan Lista sama-sama terkesiap.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Recruiter Lyfe - (TAMAT)
ChickLitSeperti apa kisah kehidupan Niar Arleta sebagai sales recruiter dengan target puluhan kandidat setiap bulannya? Pastinya, kurang tidur, akhir pekan terpakai untuk bekerja dan selamat tinggal kehidupan sosial. Untungnya Leta punya teman-teman sesama...