12.Meet Tension

4.4K 413 22
                                    


"Siapa sih dia? Baru juga ketemu sudah berani suruh-suruh gue begitu. Dia pikir gue nggak tahu pekerjaannya seperti apa? Dia pikir cari kandidat itu macam membalikkan telapak tangan? Atau pakai magic? Simsalabim selesai," gerutuku tak habis pikir dengan kelakuan Ibra pagi tadi.

"Ini masih soal Ibra?" tanya Nindon sambil mengunyah kentang gorengnya.

Aku, Nindon dan Mbak Riesta sedang keluar makan siang bersama, satu rutinitas yang sungguh mewah bisa kami lakukan bersama, mengingat sebelumnya aku lebih banyak ke luar kota. Namun sekarang, saat aku sudah pegang Metro, aku jadi sering menghabiskan waktu makan siang dengan dua orang paling kusayang di kantor. 

"Siapa lagi?" jawabku ketus. "Kebayang nggak? Dia datang ke meja, nggak pakai perkenalan diri atau apa, langsung minta kandidat. Mana ambisius banget lagi, gila apa minta 26 kandidat kurang dari sebulan? Ilen saja nggak pernah minta sebanyak itu untuk satu area."

Nindon terbahak. "Model begitu banyak di Metro, sabar saja. Lu juga ada yang seperti itu kan, Mbak?" tanya Nindon ke arah Mbak Riesta yang masih sibuk memilih menu. 

"Seperti Ibra?" tanya Mbak Riesta balik.

"Yah nggak harus 100% macam Ibra, maksudnya yang model suka kejar-kejar target dan ambisius."

"Ada sih, tapi syariah kan targetnya nggak sebanyak konvensional, jadi masih oke lah permintaan-permintaan mereka."

"Kan?" potongku seperti menemukan celah. "Yang aneh seperti Ibra cuma ada satu pasti. Lia dan Iqbal yang pegang Jakarta Utara dan Barat saja lebih woles* loh, padahal Barat lebih banyak kekurangannya."

 "Dengar-dengar, Ibra itu lulusan UNRI loh," ujar Nindon tiba-tiba.

"Apa hubungannya?" tanyaku heran dengan perubahan topik yang tiba-tiba. 

"Ih, lu nggak tahu?" air muka Nindon seperti mencelaku.

Spontan aku menggeleng. Apa hubungannya lulusan Universitas Negeri Rakyat Indonesia, universitas paling top di negara ini, dengan kelakuan Ibra?

"Ilen juga lulusan UNRI. Kelakuan lulusan UNRI kan seperti itu semua. Super demanding!"

"Yang benar? Dua orang itu sama-sama lulusan UNRI?" tanyaku tak percaya.

"Ih, nggak update banget lu. Setahu gue, mereka juga seangkatan. Sama-sama cum laude juga deh, makanya ya begitu. Pintar teori tapi nggak paham kenyataan. Maunya serba cepat, nggak lihat-lihat situasi."

"Hmm, tapi Ibra ini paham kenyataan juga deh. Kalau nggak, mana mungkin dia tahu banget area dia kan?" pikirku sambil mengingat-ingat analisanya yang cepat dan akurat saat terakhir bertemu. 

"Kok lu jadi membela dia?" tanya Nindon curiga.

"Membela gimana? Gue cuma kasih tahu fakta saja," jawabku bingung.

"Hati-hati, Let. Banyak yang jatuh hati sama Ibra lho. Dia kan cukup terkenal di kantor, dingin-dingin menggemaskan," kali ini nada suara Nindon terdengar menggoda. 

Mbak Riesta ketawa, "Leta nggak paham Nin. Kamu kebanyakan di luar kota sih, jadi nggak kenal siapa Ibra." Mbak Riesta memandang ke arahku geli, setelah berhasil meredakan tawanya. "Pasti dia pikir kamu sudah tahu siapa dia, seperti rata-rata anak kantor lainnya, jadi dia nggak memperkenalkan diri."

"Ih sombong sekali," ujarku gusar. "Tetap saja sopan santun pertama kali saat bertemu orang kan memperkenalkan diri dulu, siapa namanya, keperluannya apa. Bukan langsung perintah-perintah begitu. Mana gue masih pegang area regional juga kan, harusnya tanya-tanya dulu dong, basa basi atau apa. Tanya gue lagi banyak kerjaan apa dan negosiasi target dulu lah. "

Nindon dan Mbak Riesta bertukar pandang geli sebelum dengan kompaknya membalasku dengan satu kalimat pendek, "benci dan cinta bedanya tipis." Lalu mereka berdua terbahak bareng.

Sialan. Berani-beraninya mereka malah menggodaku. Kutarik kembali kalau begitu kata-kata 'dua orang paling kusayang di kantor ini.'

***

Situasi semakin panas, sodara-sodara... Leta tersulut.... 

*lol pengarang macam apa ini sungguh bahagia dengan kekalutan tokoh utama.

Recruiter Lyfe - (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang