"Jangan lupa jalan pulang, lho. Suka keenakan biasanya kalau sudah berduaan."
"Hati-hati, Let, nanti dibawa kabur."
"Pelan-pelan saja, Bro, belum ada pengalaman itu Leta."
"Nggak usah terlalu maksimal. Ingat, besok kerja."
Entah apa lagi kata-kata yang dilemparkan anak-anak itu ketika Ibra menarik lenganku untuk mengikutinya, selepas kami selesai menjenguk Mbak Riesta. Rasanya kejadian kali ini seperti de ja vu untukku, peristiwa di mana anak-anak pulang dengan pesan taksi online bersama-sama sementara aku terpisah dengan Ibra.
Ibra terlihat santai saja ikut tertawa, sesekali malah membalas komentar-komentar mereka tak kalah isengnya. Tentu saja berbeda denganku, teriakan mereka sungguh membuatku ingin ditelan bumi saja rasanya.
"Kamu nggak ada acara hari ini kan?" tanya Ibra saat kami sudah berada di dalam mobilnya.
"Tadi kan sudah tanya," jawabku singkat. Justru karena itu, aku jadi tidak bisa mengelak akan ajakannya kali ini.
"Kita mau ke mana kalau begitu?"
"Memangnya mau pergi? Kan tadi Mas Ibra menawarkan untuk mengantarkan pulang?" ujarku terkejut.
"Masih sore. Apa saya main ke rumah kamu saja? Nggak ada acara kan ya?"
"Oke kita pergi saja ke mana kalau begitu," putusku cepat. Astaga bisa panjang urusannya kalau nanti orang rumah bertemu Ibra. Aku tidak percaya juga dengan komentar-komentar yang mungkin keluar dari mulut Ibra ke mereka juga nantinya.
Ibra tertawa kecil mendengar reaksiku. "Mau nonton saja? Ada film superhero baru yang bagus sekali sedang tayang sepertinya."
"Lama juga ya tapi, waktu kita habis menonton saja ya nanti. Lepas itu sudah malam," gumamku sambil coba menghitung-hitung waktu. Film superhero itu memakan waktu lebih dari tiga jam, keluar bioskop pasti sudah sangat malam.
"Betul juga," balas Ibra. "Ini kan pertama kali kita bisa benar-benar pergi berdua ya setelah sekian lama, sayang banget kalau saya malah nggak puas melihat kamu ya. Gelap begitu."
"Mas Ibra kenapa mau ajak pergi sih?" tanyaku cepat, berusaha mengalihkan perhatian dari komentarnya yang aku yakin sekali membuat mukaku memerah.
"Hmmm...," Ibra tampak ragu-ragu menjawab, sesuatu yang jarang sekali aku lihat. "Niar, saya mau bicara lebih serius tapi bukan berarti saya memaksa kamu."
Oke... Setiap bersama Ibra, aku selalu lupa harus siap dengan segala kemungkinan. Pria ini macam supir bajaj, suka membelokkan arah pembicaraan sesukanya.
"Saya tahu kamu memang meminta saya untuk menunggu," lanjut Ibra, mungkin melihat aku tidak memberikan reaksi yang signifikan jadi dia merasa aman untuk meneruskan bicara. "Saya pikir saya sudah memberi waktu yang cukup untukmu," kali ini Ibra menatapku lekat. Kami masih berada di dalam halaman parkir rumah sakit, sehingga cukup leluasa untuk Ibra berbicara tanpa perlu membagi perhatian dengan kondisi jalanan.
"Saya mau menawarkan sebuah proposal," tawar Ibra sembari mencondongkan tubuhnya ke arahku.
"Maksudnya?" tanyaku mencoba memahami arti tatapan Ibra. Posisi kami sungguh terlalu dekat membuatku tidak nyaman.
"Seperti kamu memberi kontrak kerja pada FC, kamu berikan saya kesempatan yang sama. Kontrak sebagai pacar. Silakan tulis semua kesepakatan yang kamu inginkan, saya akan melakukan yang sama, dan kita jalani, say? Enam bulan? Sehabis itu kita review kontrak. Toh, selama enam bulan ini hubungan kita sangat baik, saya pikir sudah saatnya naik ke tingkat berikutnya. Bagaimana?"
"Maksud Mas Ibra? Kita membuat kontrak kerja, eh pacaran, dengan klausul-klausul yang disepakati bersama?" ulangku meyakinkan diri. Pertama kalinya dalam hidup aku mendengar hal absurd seperti ini.
Ibra mengangguk. "Win-win untuk kita berdua bukan? Kita jadi saling mengetahui batasan satu sama lain juga."
"Jadi saya bisa masukkan dalam salah satu klausul, jarak yang diperbolehkan di antara kita minimal 50 cm?" ujiku jahil.
Ibra otomatis menjauhkan posisinya dariku. "Dan saya juga bisa menambahkan klausul, mencium pipi kamu sehari minimal satu kali," kedip Ibra.
"Loh, nggak bisa dong," protesku cepat. "Bertentangan dengan klausul sebelumnya terkait jarak."
"Kalau begitu, poin tambahannya, klausul yang dimasukkan harus disepakati kedua belah pihak," ucap Ibra penuh kemenangan.
Aku memandangnya sebal. Astaga, sepertinya aku tidak akan pernah menang dalam beradu argumen dengannya.
"Saya serius Niar, dan proposal ini adalah salah satu cara untuk meyakinkan kamu, kalau saya bisa dipercaya," lanjut Ibra dengan nada sungguh-sungguh.
"Apa klausul pertama?"
"Bagaimana kalau kita mulai dengan mengganti panggilan saya-kamu menjadi aku-kamu," tawar Ibra.
"Aku nggak keberatan," ujarku. Senyum Ibra kontan mengembang mendengar jawabanku.
Ternyata, pekerjaanku sehari-hari dapat diterapkan dalam hubunganku dengan Ibra juga. Kalau seperti ini terus, rasanya semua akan baik-baik saja seharusnya.
***
😆😆😆😆😆😆😆
KALI INI BENERAN SELESAI....
BYE BYEEE 👋👋👋👋
😝
KAMU SEDANG MEMBACA
Recruiter Lyfe - (TAMAT)
ChickLitSeperti apa kisah kehidupan Niar Arleta sebagai sales recruiter dengan target puluhan kandidat setiap bulannya? Pastinya, kurang tidur, akhir pekan terpakai untuk bekerja dan selamat tinggal kehidupan sosial. Untungnya Leta punya teman-teman sesama...