17.Meet the Helping Hand

3.6K 394 2
                                    


"Benar-benar deh," gerutuku ketika telah kembali di meja kerja. Aku baru saja mengalahkan rekor dunia jalan cepat dari lantai satu ke ruang kerja di lantai delapan ini, tanpa lift, saking kesalnya.

"Kemarin mintanya buru-buru, sudah dikabulkan, malah begini," lanjutku masih geram. Lucky yang sedang menelpon sampai mematikan teleponnya, sepertinya kaget melihatku yang tiba-tiba datang.

"Ada apa, Let?" tanyanya bingung. "Tumben banget sudah balik ke meja, bukannya biasanya wawancara kandidat metro sampai jam sebelas?" tambahnya sambil melihat jam di layar laptopnya.

"Itu dia, seharusnya kan ya. Tapi ini gara-gara satu user saja jadwal wawancara jadi berantakan semua. Mintanya buru-buru, sudah langsung gue penuhi dong, eh sekarang dengan enaknya bilang nggak bisa datang baru tadi pagi. Kan kasihan amat kandidatnya sudah pada datang."

Lucky mengernyit, sepertinya masih mencerna muntahan kata-kataku barusan.

"Ibra maksudnya, Ky. Biasa deh Leta, lagi love and hate relationship banget sama Ibra," jawab Nindon sambil menahan tawa dari meja kerjanya. 

Aku mendelik sebal ke arah Nindon. Malas membalas komentar Nindon, aku mencoba mencari ponsel yang kutinggalkan di atas meja tadi, mengecek apakah ada telepon balik atau setidaknya pesan dari Ibra. Setelah dia mengirimkan pesan mengutarakan tidak bisa datang tadi, aku menghujaninya dengan panggilan telepon dan beberapa pesan singkat. Tetap tidak ada yang dibalas.

"Balas dendam kayaknya dia, Let. Kemarin kan dicuekin terus sama lu," ujar Nindon, kali ini sukses terpingkal-pingkal.

Kembali aku melempar pandangan sebal ke arahnya, sembari kembali mencoba menelpon Ibra entah untuk yang keberapa kalinya hari ini. Biar saja meledak jumlah missed call yang diterimanya.

Nomor yang Anda tuju berada di luar jangkauan area.

Astaga, berani-beraninya dia mematikan ponselnya di saat seperti ini. Mukaku memerah, menahan kesal. Apalagi Nindon semakin kencang tertawa, Lucky pun tampak ikut-ikutan Nindon. Walaupun ia masih berusaha menahan tawanya.

"Sudah ah, kalian senang sekali menertawakan penderitaan orang lain," seruku meninggalkan Lucky dan Nindon. "Mabeth, gue ke ruang HR dulu ya," teriakku ke arah Mabeth. Sebagai satu-satunya admin Sales Rectruiter, Mabeth memang selalu menjadi orang yang harus tahu para recruiter ada di mana atau akan ke mana.  Dia seperti pusat informasi setiap ada pertanyaan terkait tim Sales Recruitment.

Bukan tanpa tujuan aku pergi ke ruang HR, yang sebenarnya hanya berada di seberang ruangan Sales Recruitment. Satu lantai delapan ini memang isinya tim Bu Rani semua: HR, Sales Recruitment dan Sales Academy. 

Sesampainya di ruang HR, aku segera mencari area rekrutmen. Berbeda dengan Sales Recruitment yang fokus mencari FC atau tenaga penjual (sales), HR rekrutmen fokus mencari karyawan untuk non sales

"Mbak Andin," seruku ketika menemukan sosok yang kucari. "Sudah ada kabar terbaru untuk penggantiku di Regional belum?" lanjutku setelah mendekati meja kerjanya.

Perempuan yang kupanggil Andin memalingkan wajahnya dari layar komputer untuk melihatku, "ya ampun Leta, baru kemarin nanya, hari ini sudah nanya lagi."

"Butuh cepat Mbak, aku sudah nggak kuat nih pegang dua area begini. Hari ini saja, karena mengutamakan Metro, regional jadi nggak kekejar," keluhku. 

"Sudah ada tiga kandidat sih yang ada di Ilen, tapi sepertinya masih pending di dia deh," jawab Mbak Andin setelah mengecek datanya.

"Dari kemarin kok masih saja di Ilen sih Mbak kandidatnya?" seruku gusar. Sepertinya sudah dari seminggu yang lalu, hanya kabar ini saja yang kuterima.

Mbak Andin hanya mengangkat kedua bahunya sementara aku terdiam. Nggak Ibra, nggak Ilen sepertinya memiliki hobi yang sama. Membuatku menderita. 

***



Recruiter Lyfe - (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang