31.Meet Worried

3.3K 374 4
                                    


Jumat siang aku baru saja kembali ke meja kerja, selepas makan siang bersama Nindon dan Mbak Riesta di luar kantor. Seperti kebanyakan perusahaan di Jakarta, waktu makan siang di hari Jumat sedikit lebih lama dibandingkan hari biasa, dikarenakan ada jeda waktu salat Jumat dan mungkin karena sudah suasana akhir pekan juga ya.  Perusahaan jadi sedikit longgar memberi toleransi jam makan siang, biasanya sampai jam dua siang atau kalau yang tidak tahu diri, baru balik kantor jam tiga atau empat sore. 

Jumat ini kami bertiga sedikit tahu diri, pukul dua lewat sepuluh menit sudah kembali di ruangan Sales Recruitment. Lebih karena aku dan Nindon ada sesi wawancara kandidat mulai pukul tiga sore sih, sehingga harus kembali sebelum jadwal. 

"Mbak Leta nggak bawa ponsel ya?" tanya Mabeth sesaat setelah aku duduk di kursi kerja. 

"Eh iya lupa, Beth. Buru-buru jalan sama anak-anak tadi," ujarku sambil merogoh tas selempangku mencari-cari di mana gerangan si ponsel berada.

"Pantas saja," ujar Mabeth nampak lega. "Mas Lucky telepon aku bolak-balik. Mbak Nindon sama Mbak Riesta pasti juga nggak angkat telepon deh," ujar Mabeth menuduh. Nindon dan Mbak Riesta sontak mengecek ponsel mereka masing-masing.

"Eh iya, ada missed call dari Lucky nih," ujar Nindon yang diikuti anggukan Mbak Riesta.

"Mas Lucky mencari Lista deh, dia nggak bisa dihubungin sementara pihak Universitas telepon Mas Lucky terus karena booth kita masih kosong sampai siang ini," ujar Mabeth menjelaskan.

"Eh yang benar?" tanyaku kaget. "Seingatku dia berangkat penerbangan paling pagi kan, jam sepuluh seharusnya sudah sampai di lokasi dong. Dia pesan tiket sendiri atau lewat elu, Beth?" tanyaku. 

Aduh, ini event pertama Lista jangan sampai ada masalah ini. Aku mulai khawatir.

"Pesan sendiri Mbak, makanya aku juga nggak tahu detail penerbangannya. Terus ternyata Lista juga nggak minta tolong orang cabang untuk jemput dia atau apa, jadi aku cek orang cabang juga mereka malah baru tahu ada job fair."

"Duh, bagaimana sih Lista," ujarku sambil terus mengubek-ubek tas mencari si ponsel yang entah terselip di mana. 

"Mbak Leta telepon Mas Lucky saja ya, aku masih harus merapikan data laporan soalnya. Sepuluh menit lalu dia telepon bilang booth masih kosong juga," putus Mabeth sambil berlalu kembali ke meja kerjanya.   

Aku hanya mengangguk dan segera memencet nomor telepon Lista, setelah menemukan ponselku yang terselip di antara pouch kosmetik.

"Nggak tersambung," keluhku setelah tidak juga terhubung dengan ponsel Lista. 

"Lu telepon Lista?" tanya Nindon. "Barusan juga gue telepon dia nggak ngaruh, mati ponselnya. Telepon Lucky saja gih."

Tanpa diberitahu Nindon pun aku sudah memijit nomor Lucky yang ada di area speed dial-ku. Ber-partner kerja dengan Lucky hampir satu tahun membuat kehadirannya lebih penting daripada keluargaku selama ini. 

"Masih belum ada kabar ya?" ujarku setelah Lucky mengangkat ponselnya di ujung sambungan. Aku mengangguk-angguk saja mendengar penjelasan Lucky, yang tidak biasa-biasanya terdengar panik. Nindon dan Mbak Riesta ikut memperhatikanku dengan saksama.

Setelah sekitar sepuluh menit aku berdiskusi dengan Lucky dan memperkirakan langkah-langkah apa saja yang harus diambil sebagai plan B, akhirnya sambungan telepon kusudahi. 

"Jadi?" tanya Nindon dan Mbak Riesta hampir bersamaan.

"Intinya sih Lucky sudah hubungi orang cabang untuk langsung ke lokasi dan cek tempat, kita berdua berusaha menjaga saja jangan sampai Ilen tahu soal ini. Bisa kebakaran jenggot dia," ujarku pelan. 

"Tapi gila itu Lista kalau sampai miss," ujar Nindon ikut berbisik, Ilen baru saja kembali dari makan siangnya soalnya.

"Semoga nggak ya," jawabku tidak yakin. 

***

Semoga yaaaa... Lista pls jangan mengacau.... jadi Leta nggak kerja rangkap-rangkap lagiiiii.....


Recruiter Lyfe - (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang