Aku masih merenungi nasib pekerjaanku dengan semua target dan kelakuan aneh user-ku, walau ternyata hanya satu user saja yang aneh, tetap saja patut direnungkan. Setiap hari sepertinya pekerjaanku bukan membaik, namun semakin menurun saja performanya. Kali ini tidak ada alasan pekerjaan rangkap yang bisa dipakai untuk menutupi kurangnya targetku, karena Lista justru sudah menguasai pekerjaannya dan melesat jauh dengan targetnya. Ternyata ada benarnya juga mengapa almamater mempengaruhi, untuk Lista setelah mengetahui celahnya, mudah saja baginya dalam beradaptasi. Aku jadi sedikit kehilangan momen ketika Lista terus menempelku. Ternyata, diandalkan orang lain itu menyenangkan juga ya.
Tapi... tapi... hal yang sama tidak berlaku kalau diandalkan, atau lebih tepatnya, dipaksa menjadi andalan dalam konteks target yang luar biasa. Pagi ini aku diingatkan akan perasaan itu ketika Ilen menghampiri meja kerjaku.
"Let, Maret ini final kandidat hanya ada 25 yang lolos ya?" tanya Ilen tanpa basa-basi 'selamat pagi' atau apa. Aku sempat melirik jam tangan dan benar-benar masih pukul sembilan pagi kurang lima menit. Ilen sudah sampai kantor saja sungguh keajaiban.
"Iya, Mbak," ujarku tanpa mampu menatap wajahnya.
"Lima kandidat tertolong sama Lista kan? Waktu dia ke luar kota kemarin, kebetulan ada anak asli Jakarta ikutan apply," lanjut Ilen tajam.
Lista yang sepertinya mendengar namanya disebut, langsung menoleh ke arahku dari tempat duduknya. Raut mukanya seperti bingung dan aku melempar gumaman 'tidak apa-apa' ke arahnya. Lista nampak menangkap ucapanku, karena ia kembali memutar duduknya menghadap laptop.
Ilen dan suara kerasnya memang satu hal yang paling aku sebal.
"Dibandingkan dengan semua recruiter, performa lu paling rendah persentasenya. Tidak sampai 75% dari target. Sudah tiga bulan berturut-turut begini, kemarin memang karena rangkap pekerjaan, tapi sekarang kan tidak."
Aku masih menunduk, bingung juga harus membalas apa. Semua yang diungkapkan Ilen adalah fakta dan terus terang aku tidak bisa membantahnya.
"Bu Rani mau ketemu lu, lima menit lagi di ruangannya. Bawa semua data ya," perintah Ilen.
Kali ini aku mendongak menatap Ilen, raut mukaku menegang. "Eh sekarang, Mbak?"
"Iya lah, kan gue bilang lima menit lagi. Sudah cepat siap-siap, gue jalan duluan ya. Kita ketemu di sana," Ilen menutup pembicaraan dan segera berlalu dari hadapanku.
Aku mulai panik. Terakhir kali bertemu Bu Rani ketika aku dimutasikan untuk menggantikan Mutia. Itu berarti tiga-empat bulan lalu. Total aku bertemu Bu Rani selama setahun bekerja di sini baru empat kali dengan hari ini, dua lainnya terjadi saat hari pertama aku masuk dan ketika evaluasi masa percobaan. Itu saja. Dengan kata lain, bertemu Bu Rani berarti ada sesuatu yang penting terkait pekerjaanku.
"Tenang saja, Let. Bu Rani mungkin cuma mau tahu alasan elu saja, kasih tahu saja kenapa sampai kurang kandidat," ujar Mbak Riesta, penuh ketenangan seperti biasa.
Aku tersenyum ke arah Mbak Riesta sambil mempersiapkan laptop dan agenda yang akan kubawa. Untung saja Nindon tidak sedang di meja kerjanya, kalau saja ada, dia pasti punya banyak dugaan untuk membuatku semakin panik. Sesuatu yang tidak kuperlukan pagi ini.
"Doakan saja, Mbak," jawabku setelah semua hal yang perlu dibawa sudah dalam dekapan.
Mbak Riesta melemparkan kedua jempolnya ke arahku sambil berbisik, "Semangat." Begitu juga Lista ketika aku melewati meja kerjanya.
Benar-benar semua dukungan yang kubutuhkan untuk melewati pagi ini. Tapi semuanya seperti berantakan ketika aku sampai di depan ruangan Bu Rani. Aku melihat Ibra tengah berbincang-bincang dengan Ilen dan Bu Rani di dalam ruangan.
Ada urusan apa Ibra di sini?
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Recruiter Lyfe - (TAMAT)
Literatura FemininaSeperti apa kisah kehidupan Niar Arleta sebagai sales recruiter dengan target puluhan kandidat setiap bulannya? Pastinya, kurang tidur, akhir pekan terpakai untuk bekerja dan selamat tinggal kehidupan sosial. Untungnya Leta punya teman-teman sesama...