"Sudah berapa lama ini terjadi?" Bu Rani melepas kacamatanya dan memandangku lekat.
Keringat dingin menjalari seluruh tubuhku, sebelum akhirnya aku memantapkan diri menjawab. "Tidak lama setelah saya pegang area Metro, menggantikan Mutia," ujarku kembali tertunduk, tidak berani menatap muka Bu Rani.
"Itu berarti, sudah hampir enam bulan," Bu Rani menyimpulkan.
Aku mengangguk. Sudah cukup lama juga ternyata, aku baru menyadarinya.
"Baiklah," Bu Rani menutup agendanya. Sejak mereka memulai diskusi ini, Bu Rani memang terus mencatat beberapa hal di agendanya, seperti tidak ingin terlewat akan setiap detail yang keluar dari mulutku. "Saya akan bicara dengan Ylenia dulu, nanti kita diskusi lagi," lanjutnya.
Aku tercekat, menatap Bu Rani panik. "Ibu akan langsung bicara dengan Mbak Ilen?" tanyaku memastikan pendegaranku sebelumnya.
"Tentu saja," Bu Rani menaikkan salah satu alisnya, menatapku aneh. "Saya harus memastikan juga dari sisi Ylenia."
"Oh iya, Bu. Betul," ujarku lemah. Perasaanku terus terang saja tidak nyaman, tapi tentunya perkara ini seharusnya sudah kupertimbangkan sebelum datang menemui Bu Rani.
Apa yang kuharapkan memangnya? Bu Rani menelan mentah-mentah semua curahan hati dan langsung mendukungku?
"Kamu boleh pergi sekarang," seru Bu Rani setelah menutup telepon mejanya, mungkin menghubungi Ilen untuk datang menemuinya.
Aku kembali mengangguk dan berdiri bersiap meninggalkan ruangan Bu Rani, ketika Ibra memasuki ruangan. Ternyata ini alasannya Bu Rani memintaku keluar, aku pasti tidak mendengar ketika Ibra mengetuk pintu sebelumnya. Pandanganku dan Ibra sempat bertemu sesaat sebelum kembali aku menunduk menghindari tatapannya, berusaha mengacuhkannya ketika berjalan menuju pintu keluar. Namun tetap saja aku merasakan tatapan Ibra seakan menusukku.
Keluar dari ruangan Bu Rani, aku bergegas menuju toilet terdekat. Aku membasuh mukaku dengan air dingin, kemudian bersandar membiarkan tubuhku bertumpu pada wastafel. Rasanya lelah sekali, padahal aku hanya menghabiskan waktu tidak sampai satu jam bersama Bu Rani. Rasanya seluruh energiku untuk bekerja hari ini sudah tergerus habis, padahal belum masuk jam makan siang.
"Let, basah banget itu kemejanya."
Sontak aku menoleh ke arah sumber suara, kemudian berpaling ke arah kemejaku yang benar saja sudah kuyup. "Terciprat saat cuci muka tadi kayaknya Mbak," jawabku sambil mengambil tisu dan menempelkannya di area kemeja yang basah. Hari ini sepertinya pikiranku sungguh kacau.
Mbak Andin mengangguk sembari lalu, masuk ke dalam salah satu bilik toilet.
"Kandidat pengganti Riesta belum ada juga sampai saat ini," ujar Mbak Andin mengagetkanku. Sepertinya aku terlalu sibuk mengeringkan kemejaku, sampai tidak sadar Mbak Andin sudah keluar dari bilik.
"Oh, susah ya mencari kandidat saat ini pasti," jawabku berusaha menunjukkan empati. Andin adalah satu-satunya rekruter untuk posisi non-sales, pasti banyak sekali posisi yang harus dicarinya setiap hari.
"Tumben kamu nggak kejar-kejar aku menanyakan siapa penggantinya, seperti saat Mutia resign dulu," ujar Mbak Andin menahan senyum.
"Yah, Mbak, dulu kan aku tanya terus karena harus kerja rangkap. Sekarang sih, bukan aku yang pegang sementara kerjaan Mbak Riesta," jawabku manyun.
"Oh begitu, siapa yang pegang kerjaan Riesta jadinya?"
Aku mengedikkan bahu. Kupikir-pikir, benar juga ya, kenapa aku bisa sampai tidak mengetahui siapa yang pegang sementara kerjaan yang ditinggalkan Mbak Riesta.
"Mungkin Ilen langsung ya. Semenjak Riesta resign, aku lihat Ilen lebih sering lembur."
"Masak, Mbak? Mbak Ilen nggak pernah lembur deh, aku dan anak-anak Sales Recruiter kan sering lembur. Nggak pernah lihat Mbak Ilen ada di kantor lewat jam enam sore," ujarku mengerutkan kening.
"Ilen memang nggak pernah lembur di area kalian deh, aku biasanya lihat dia di mejanya Ibra atau di ruang meeting lantai bawah, bareng Ibra juga."
"Bareng Ibra?" tanyaku memastikan.
"Iya, kok heran sih Let? Mereka bukannya pacaran?" tanya Andin balik ke arahku.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Recruiter Lyfe - (TAMAT)
Romanzi rosa / ChickLitSeperti apa kisah kehidupan Niar Arleta sebagai sales recruiter dengan target puluhan kandidat setiap bulannya? Pastinya, kurang tidur, akhir pekan terpakai untuk bekerja dan selamat tinggal kehidupan sosial. Untungnya Leta punya teman-teman sesama...