Aku menatap Ibra di hadapanku dengan tangan terlipat di depan dada dan raut muka masam. Cukup heran sebenarnya dengan diriku sendiri, sampai bisa berakhir berdua saja dengan Ibra hanya dengan dorongan dari Lista, dan sedikit paksaan dari pria di hadapanku ini. Anak baru itu yakin sekali dia bisa menyelesaikan semua target menelepon dan mendorongku keluar dari ruangan.
"Kamu mau makan apa? Bibimbap* di sini enak sekali, menu spesial kafe ini. Kamu suka makanan Korea kan?" tanya Ibra sambil membolak-balik menu makanan di depannya.
Aku mendengkus. Bisa-bisanya dia tidak merasa bersalah sama sekali, dan tentu saja aku tahu bibimbap di sini enak sekali. Ini kan kafe favorit untuk lokasi makan siang.
"Minumnya mau teh jagung saja? Cocok dengan pilihan makanannya, hari ini juga agak panas ya. Teh jagung dingin pasti enak," lanjut Ibra kalem, seperti tidak melihat raut mukaku yang sudah pasti merah padam.
Aku berdeham keras kali ini. Berhasil. Ibra mendongakkan kepalanya dari lembar menu dan menatap ke arahku. Alis matanya yang tebal terangkat sebelah, seolah-olah meminta penjelasan dariku.
"Saya ke sini bukan buat makan ya," ujarku akhirnya.
"Tapi sekarang sudah setengah dua belas siang, saatnya makan siang," jawab Ibra terheran-heran, seperti aku baru saja menyebutkan satu hal yang aneh.
"Maksud saya, saya nggak mau makan. Tadi kamu bilang kita bakal ngobrol sebentar saja, jadi saya setuju ikut ke sini. Kalau pakai makan, makin lama nanti selesainya."
"Tapi ini kan mendekati waktu makan siang, lebih baik sekalian makan saja bukan? Jadi ngobrolnya juga lebih enak," lanjut Ibra bersikeras.
"Saya nggak mau makan dengan user yang tidak bertanggung jawab," ujarku akhirnya, tidak tahan juga menahan kekesalan dalam diri. Masih sebal rasanya ketika beberapa hari yang lalu Ibra seenaknya memberitahu tidak bisa datang wawancara, setelah sebelumnya memburu-buruku untuk menjadwalkannya proses wawancara.
"Jadi kamu nggak mengangkat telepon saya dan membalas pesan-pesan yang dikirimkan karena itu?" tanya Ibra sambil menutup lembaran menu, kemudian meletakkannya di atas meja.
Aku mengangguk. Tanganku masih terlipat dan pandanganku mengarah ke atas kepala Ibra, malas bertemu muka dengannya.
Ibra tertawa kecil.
Aku mendelik langsung mendengar tawanya. Pandangan kami bertemu. Bisa-bisanya dia malah tertawa.
"Kamu pendendam juga ya orangnya?" ujar Ibra akhirnya.
Aku kembali mendelik. "Koreksi ya, saya sebal bukan dendam."
"Kalau sekadar sebal nggak akan berlarut-larut. Hari ini sebal, besok sudah kembali normal. Kalau dendam...," Ibra sengaja menggantung kalimatnya.
"Ah, terserah apa namanya. Pokoknya saya masih sebal dengan kejadian itu," putusku.
"Maaf ya, Niar. Saya benar-benar sedang ada masalah kemarin. Saya pikir aman, makanya saya sendiri mengajukan hari itu untuk wawancara kan, ternyata salah satu FC berulah. Ada customer mengeluhkan dana yang ditarik tidak sesuai dengan perjanjian. Hari ini pun saya masuk karena masih follow-up kasus itu. Ada dugaan fraud*," keluh Ibra.
"Oh begitu," responsku pelan. Fraud memang masalah yang sangat serius, dan mudah terjadi di area sales. Target yang demikian besar terkadang membuat sales menghalalkan segala cara demi mencapai targetnya. Termasuk memanipulasi data.
Pembicaraan berikutnya berlanjut seputar target dan masalah yang tengah dihadapi Ibra saat ini. Tanpa sadar, aku menghabiskan dua jam lebih bersama Ibra, sampai lupa mengecek apakah Lista sudah selesai menelepon semua kandidatku.
Ternyata mengobrol bersama Ibra bisa semenyenangkan ini.
***
Bibimbap: nasi campur khas Korea Selatan
Fraud: tindakan curang yang dilakukan sedemikian rupa, sehingga menguntungkan diri sendiri, kelompok, atau pihak lain (perorangan, perusahaan atau institusi).
KAMU SEDANG MEMBACA
Recruiter Lyfe - (TAMAT)
ChickLitSeperti apa kisah kehidupan Niar Arleta sebagai sales recruiter dengan target puluhan kandidat setiap bulannya? Pastinya, kurang tidur, akhir pekan terpakai untuk bekerja dan selamat tinggal kehidupan sosial. Untungnya Leta punya teman-teman sesama...